UNESCO, salah satu badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melaporkan, Indonesia pada tahun 1973 mengalami book starvation (paceklik buku). Saat itu, Indonesia tidak menerbitkan satu judul buku pun. Sementara di luar tahun itu, produksi buku di Indonesia berkisar 10.000 judul.
Berbeda dengan negara lain. Jepang contohnya, setiap tahunnya menerbitkan 60.000 judul buku, sementara Inggris jauh lebih besar lagi mencapai 110.155 judul buku. Fenomena tersebut baru ditinjau dari sisi judul buku, belum dilihat dari sisi oplah (jumlah tiras buku yang diterbitkan). Seharusnya, penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta, produksi bukunya lebih besar ketimbang negeri tetangga, termasuk Jepang dan Inggris.
Banyak faktor, mengapa produksi judul dan jumlah buku di Indonesia terbilang rendah. Selain karena daya beli masyarakat, ternyata faktor reading habit (kebiasaan membaca) sangat menentukan. Berdasarkan data, minat baca masyarakat Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara saja menduduki peringkat keempat, setelah Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Prof. Sigeo Minowa dari Jepang pernah meneliti jumlah uang yang dikeluarkan oleh rakyat Indonesia untuk membeli buku. Dengan menggunakan parameter Book Production Consumption (BPC), diperoleh angka 0,144% untuk Indonesia, dengan asumsi produk buku tahunan 215 juta eksemplar, dan harga jual rata-rata Rp 4000. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan Filipina (0,286%) dan negara-negara maju yang mencapai 0,35% (Laporan UNDP, 1994 dalam Taryadi, 1999).
Selama lima belas tahun terakhir, sirkulasi rata-rata per judul buku di Indonesia ditengarai terus menurun. Tahun 2003, IKAPI hanya memproduksi 4000 judul buku baru, jauh dibandingkan Malaysia 10.0000, Jepang 44.000, Inggris 61.000 judul, dan Amerika 65.000 judul.
Dalam dunia penerbitan, ada dua bentuk penerbitan (publishing), yaitu independent publishing dan self-publishing. Independent publishing umumnya adalah sebuah penerbitan mandiri yang dikelola secara independent. Sedangkan self-publishing adalah kegiatan menerbitkan karya-karya sendiri. Dewasa ini jenis penerbitan independent publishing dan self-publishing semakin marak.
Bila dahulu para penulis yang mencari-cari penerbit mana yang kira-kira bisa menerbitkan naskah tulisannya untuk dijadikan sebuah buku. Namun, sekarang dengan banyaknya bermunculan para penerbit independent, keadaannya justru malah kebalikannya. Banyak para penerbit yang berusaha mencari penulis. Bahkan mereka memberikan kemudahan dan berani memberikan royalty yang lebih tinggi dibandingkan penerbit besar.
Manajemen Penerbitan
Manajemen menurut arti katanya adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Dengan adanya manajemen dalam suatu perusahaan diharapkan maka hasilnya menjadi lebih meningkat dan lebih baik dari sebelumnya. “Bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya dan sedikit mungkin, bisa membawa hasil yang besar dan banyak. Sehingga perusahaan bisa diuntungkan.”
Dalam penerbitan, manajemen pun diperlukan. Terlepas apakah sistem manajemen yang dijalankan oleh seorang diri atau oleh sekelompok orang. Manajemen yang dijalankan oleh satu orang tentunya akan memiliki hasil terbatas, dibandingkan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Sebab semakin berkembang usaha penerbitan yang dijalankan seseorang, maka dituntut adanya penambahan jumlah personil yang membantu dalam bidang manajemennya.
Beberapa faktor pendukung:
1. SDM: mencakup orang-orang yang berkecimpung di dalam penerbitan ini. Setidaknya ada tiga orang, meliputi bidang keuangan (tugasnya mencatat perputaran keluar masuknya buku dan keluar masuknya uang); bidang pendistribusian, bertugas menyebarkan buku-buku yang sudah dicetak untuk disalurkan ke toko buku atau kepada konsumen langsung; bidang strategi dan perencana, yang mengurusi bagaimana melakukan terobosan-terobosan baru agar buku-buku yang sudah dihasilkan bisa didistribusikan dan sampai ke tangan konsumen dengan baik. Sehingga buku-buku yang sudah dicetak tidak numpuk di gudang, melainkan laku dibeli orang.
2. Uang: berperanan penting dalam usaha ini, sebab tanpa uang maka usahanya ini akan menjadi mandek dan mati. Uang di sini berfungsi sebagai modal. Baik untuk membeli barang-barang bergerak (ex. Mobil) maupun benda tak bergerak (ex. Computer, meja-kursi, alat tulis, bahan baku, dll). Uang juga diperlukan untuk menggaji semua pegawai. Selain itu, adanya uang yang cukup (diharapkan lebih) bisa meningkatkan mutu (baik dari segi quantitas maupun qualitas).
3. Perencanaan: diperlukan untuk menentukan langkah-langkah apa untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi di kemudian hari. Apa yang mesti dilakukan apabila mendadak sejumlah judul buku yang dihasilkan laris manis dipasaran. Atau apa yang harus dilakukan apabila buku-bukunya masih numpuk di gudang, tanpa ada yang membeli. Apakah mesti dilakukan obral besar-besaran? Bila dirasa perlu bisa saja.
4. Target dan Promosi: menetapkan siapa sajakah yang menjadi pangsa pasar perusahaan. Apa anak-anak atau orang dewasa? Rohani atau umum? Buku pelajaran atau buku tambahan? Dalam satu bulan berapa banyak buku yang harus laku dipasaran? Apa mesti mengiklankan usaha kita? Bila perlu barter dengan produk lain. Bisa juga dengan membagikan beberapa buku secara gratis (sebagai salah satu cara menarik pembeli).
5. Penjualan: titip di toko buku, grosir atau distributor, penjualan langsung (face to face) atau online. Tentunya masing-masing memiliki keuntungan dan kelemahan.
Hak Cipta
Peraturan tentang hak cipta sesungguhnya telah ada sejak jaman Belanda, yakni dengan diberlakukannya UU Hak Cipta tahun 1918. Undang-undang tersebut kemudian digantikan dengan UU No. 62 tahun 1982. Namun isinya dianggap kurang tegas terhadap pelaku tindak kejahatan pembajakan buku. Dalam UU ini ancaman hukuman yang berlaku adalah paling lama 9 bulan dengan denda Rp 5 juta. Baru pada tahun 1987, muncul UU No 7 tentang Hak Cipta , yang menegaskan ancaman hukuman maksimal 7 tahun dengan maksimal denda Rp 100 juta. Begitupun, ternyata pembajakan masih tetap merajalela.
Contoh Penerbit ANDI Yogyakarta
I. PENERBIT ANDI
1.1. SEKILAS PENERBIT ANDI
Sejak awal didirikan Penerbit ANDI konsisten dalam kiprahnya di dunia penerbitan di mana lebih fokus pada buku komputer dan manajemen. Dengan berjalannya waktu serta komitmen perusahaan terhadap kualitas buku yang secara teguh dipegang, menyebabkan buku-buku Penerbit ANDI mendapat tempat tersendiri dihati masyarakat. Peningkatan mutu buku dilakukan baik dengan penyaringan naskah para penulis lokal, maupun bekerja sama dengan penerbit-penerbit luar yang sudah memiliki nama seperti Prentice Hall yang sekarang Pearson Education Asia, Mc Graw Hill, John Wiley, Mac Millan, Bengk Karlof, Harvard dll, serta didukung sumber daya penerbitan dan percetakan yang baik.
Semua itu, tanpa didukung oleh ketersediaan buku di pasar tidaklah lengkap. CV. ANDI Offset sangat aktif dalam memperluas cakupan pemasaran oleh karena itu buku ANDI memiliki jaringan yang luas di seluruh pelosok tanah air, baik di Jawa ataupun di luar Jawa. Hal tersebut sangat mendukung dalam ketersediaan maupun kemudahan buku ANDI didapat / diperoleh masyarakat.
1.2. HUBUNGAN ANTARA PENULIS DAN PENERBIT
Penulis dengan Penerbit memiliki kedudukan setara, dimana secara umum Penulis memandang Penerbit bertindak sebagai intermediary karya-karya yang akan disampaikan kepada masyarakat, sedangkan Penerbit memandang penulis sebagai aset penting perusahaan yang menyebabkan proses penerbitan tetap berlangsung. Secara umum timbulnya dorongan untuk menulis diantaranya sebagai berikut; meningkatkan kredit poit (bagi pengajar), meningkatkan kredibilitas, dan alasan Finansial. Hal tersebut yang memotivasi penulis untuk menghasilkan suatu karya ilmiah yang bermutu.
Kelebihan yang dimiliki Penerbit ANDI adalah sebagai berikut:
Buku ANDI telah memiliki Brand Name tersendiri di hati masyarakat.
Memiliki jaringan distribusi yang luas.
Memiliki mesin cetak sendiri sehingga hasil, kecepatan, dan kualitas dapat diatur dengan baik.
Memiliki sistem royalti yang jelas, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan sinergi kerjasama antara Penulis dengan Penerbit akan memberikan hasil berupa penerimaan masyarakat terhadap buku terbitan ANDI.
1.3. BENTUK ROYALTI PENERBIT ANDI
Secara umum Penerbit ANDI memberikan royalti sebagai berikut: Besar royalty standard adalah berkisar antara 10% sampai 15% per semester, dengan ketentuan sebagai berikut:
· Bagi penulis yang baru pertama kali memasukkan terbitannya ke Penerbit ANDI, berhak mendapat 10% dengan perhitungan: 10% x harga jual x oplah (potong pajak)
· Bagi penulis yang sudah minimal 3 kali atau lebih menerbitkan ke Penerbit ANDI, berhak mendapat 15% dengan perhitungan: 15% x harga jual x oplah (potong pajak)
Mengingat Penerbit ANDI memiliki bentuk kerjasama yang beragam pada saluran distribusi pemasaran maka perhitungan royalti adalah berdasarkan buku yang benar-benar telah terbayar lunas, maksudnya buku yang sifatnya konsinyasi atau kredit belum dianggap sebagai buku laku. Dalam hal ini Penerbit ANDI akan selalu menjaga kejujuran dan kepercayaan kepada semua relasinya demi menjaga nama baik Penerbit ANDI.
1.4. BENTUK KERJASAMA PENERBITAN
Bentuk Kerjasama penerbitan yang ditawarkan Penerbit ANDI melingkupi:
1.4.1. Kerjasama Penerbit dengan Penulis: Merupakan kerjasama antar Penerbit dengan Penulis secara individu untuk menerbitkan sebuah buku.
1.4.2. Kerjasama Penerbit dengan Lembaga: Merupakan kerjasama antar Penerbit dengan sekelompok penulis yang telah dikoordinasi oleh Lembaga / Institusi untuk menerbitkan sebuah buku. Dalam hal ini Penerbit hanya berhubungan dengan Lembaga / Institusi yang telah diberi kepercayaan oleh penulis.
1.4.3. Kerjasama Umum: Kerjasama cetak, Penerbit hanya membantu dalam jasa percetakannya seperti buku jurnal ilmiah dan sebagainya. Kerjasama cetak dan penerbitan, Penerbit bekerjasama dengan Perorangan / Lembaga untuk menerbitkan sebuah buku dengan tanggungan biaya penerbitan bersama.
1.5. PROSEDUR PENERBITAN BUKU
1.5.1. Materi yang Harus Dikirim. Yang harus dikirimkan ke penerbit adalah:
1. Naskah final, bukan outline ataupun draft, yang disertai dengan:
· Kata Pengantar
· Daftar Isi
· Daftar Gambar*
· Daftar Tabel*
· Daftar Lampiran*
· Isi
· Daftar Pustaka
· Indeks*
· Abstrak (sinopsis)
Catatan: *Tidak perlu disertakan bila memang tidak ada. Penulis diharapakan mengikuti standart Format Penulisan pada sub-bab 1.6
2. Memberi penjelasan mengenai: pasar sasaran yang dituju, prospek pasar, manfaat setelah membaca buku ini.
Profil penulis, memberi keterangan singkat tentang penulis.
1.5.2. Penilaian Naskah
Ada lima sisi , Penerbit menilai naskah:
1.5.2.1. Sudut Ideologis
Apakah topik bertentangan dengan UUD45 dan Pancasila, serta mengandung kerawanan akan kondisi masyarakat seperti : politik, hankam, sara, sopan santun, hargadiri, prifacy dll.
1.5.2.2. Sudut Keilmuwan
· Apakah topik yang dibahas merupakan topik baru bagi masyarakat, dan apakah masyarakat sudah siap menerima topik tersebut?
· Apakah naskah tersebut gagasannya asli atau jiplakan karena hal ini sangat berpengaruh terhadap image penerbit.
· Terkait dengan akurasi data maka diperlukan sumber daftar pustaka yang lengkap.
1.5.2.3. Sudut Penyajian
· Sistematika kerangka pemikiran yang baik sehingga alur logika pemaparan mudah dipahami.
· Bagaimana bahasa yang digunakan apakah komunikatif sesuai dengan jenis naskah dan sasaran sesuai pembaca?.
· Apakah cara penulisannya sudah benar yaitu menggunakan bahasa dan cara penulisan yang baku?
1.5.2.4. Sudut Fisik Naskah
· Kelengkapan naskah secara fisik seperti kata pengantar, daftar isi, pendahuluan, batang tubuh, daftar gambar, tabel, lampiran, index, pustaka, sinposis dsb.
Pengetikan menggunakan apa, apakah tulis tangan, diketik manual, ketik komputer menggunakan softwere teretntu?
Mutu gambar, table dan objek lain yang dipasang (capture) apakah layak atau masih harus mengerjakan lagi?.
Apakah urusan administrasinya beres seperti izin penggunaan gambar tertentu, izin terjemahan dll?
1.5.2.5. Sudut Pemasaran
· Apakah tema naskah mempunyai pangsa pasar jelas dan luas sehingga buku akan dapat dan mudah diterima pasar?
· Apakah naskah memiliki selling point atau potensi jual tertentu?, seperti judul, keindahan, bahasa, kasus aktual dsb.
· Apakah ada buku sejenis yang beredar dan telah diterbitkan?. Apa kelebihan naskah tersebut dibandingkan dengan buku tersebut?
· Apakah diperlukan perlakuan khusus dalam memasarkannya atau perlu promosi khusus?.
1.5.3. Keputusan Menerima Maupun Menolak Suatu Naskah
1.5.3.1. Untuk Apa dan Mengapa Penerbit Harus Menilai Naskah
Penerbit adalah suatu badan usaha yang bercita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; mengusahakan, menyediakan, dan menyebarluaskan bagi khalayak umum, pengetahuan, pengalaman hasil karya ilmiah para penulis dalam bentuk suatu sajian yang terpadu, rapi, indah, dan komunikatif baik isi maupun kemasan fisiknya, melalui tata niaga yang dibangun untuk maksud tersebut, dan bertanggung jawab atas segala resiko yang ditimbulkan oleh kegiatannya.
· Dari pengertian mengenai penerbitan di atas dapat disimpulkan bahwa penerbit tidak memiliki maksud untuk menghakimi hasil karya penulis, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menghargai karya tersebut karena pengarang adalah “sumber kehidupan” bagi penerbitan.
· Penilaian naskah bukan untuk menjatuhkan vonis atas naskah yang dinilai baik atau buruk, layak terbit atau tidak layak terbit tetapi merupakan langkah untuk mempertimbangkan apakah dengan menerbitkan naskah tersebut usaha penerbitan secara keseluruhan dapat melelui proses dengan baik dan dapat mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan atau tidak atau dengan kata lain bahwa penilaian naskah merupakan salah satu upaya memaksimalkan proses sertahasil usaha penerbitan.
· Proses penilaian ini mau tidak mau harus terjadi sehingga perlu adanya komunikasi yang baik antara penerbit dan penulis seperti penerbit jangan meremehkan dan menganggap rendah suatu naskah atau penulis merasa naskahnya sudah yang paling baik.
1.5.3.2. Keputusan Naskah
Setelah Penulis menyerahkan naskah pada Penerbit, paling lambat 1 bulan, Penerbit akan memberikan keputusan untuk terbit atau tidak, yang akan disampaikan melalui surat resmi kepada Penulis.
· Untuk naskah yang diterima, Penerbit akan mengirim surat pemberitahuan resmi akan penerimaan tersebut, serta meminta kelengkapannya - softcopy.
· Untuk naskah yang ditolak akan dikembalikan kepada Penulis bersama dengan pengiriman surat keputusan perusahaan.
1.5.4. Pengiriman Softcopy; Disket atau CD
Anda dapat mengirimkan softcopy naskah dengan cara:
Lewat pos / paket ditujukan:
Penerbit ANDI
Jl. Beo 38-40 Yogyakarta 55281
Telp (0274) 561881; Fax (0274) 588282
Datang langsung ke kantor penerbit dan menemui editor.
Lewat email: andi_pub@indo.net.id
1.6. FORMAT NASKAH
1.6.1. Format Naskah Siap Cetak
Format pengaturan naskah dapat menggunakan Template yang disediakan oleh Penerbit Andi. Format ini merupakan Template standard yang dapat disesuaikan dengan naskah yang sedang ditulis.
Format naskah siap cetak, yang dapat Anda serahkan setelah naskah disetujui untuk diterbitkan adalah sebagai berikut:
· Jenis huruf untuk teks isi: Bookman Old Style, New Century School Book atau Times New Roman 10/11 point.
· Judul bab: font sama dengan teks, ukurannya diatur sedemikian rupa agar tampak menonjol dan serasi dengan ukuran 20 pt
· Judul sub-bab : font sama dengan teks, 18 point, capital, bold.
· Judul sub-sub-bab: font sama dengan teks, 10 point, capital underline
· Header dan Footer: menggunakan font yang berbeda, bisa divariasi bold atau italic asal serasi.
· Footnote : Font sama, 8 point; bisa font yang lain asal serasi.
· Alignment : Justified
· Spacing : Before – 0; After – 0,6
· Line Spacing: Single
· Gambar-gambar tangkapan layar sebaiknya menggunakan format .tif , .jpg Gambar sebaiknya dikirimkan dalam disket/file tersendiri dan dilakukan link terhadap naskah.
1.6.2. Penomeran Halaman:
· Halaman judul : i
· Halaman Copyright : ii
· Halaman Persembahan : iii
· Kata Pengantar : v
· Daftar Isi : vii
· Halaman Isi
· Pendahuluan (Bab I) : 1
· Bab II : 3, 5, 7, 9, dst (selalu halaman ganjil).
SURAT PERJANJIAN PENERBITAN BUKU
No: ___________________
Pada hari ini Hari :______, Tanggal :________, Bulan :________, Tahun : _________ kami yang bertanda tangan dibawah ini :
1. Nama :__________________ Alamat :_____________________________, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.
2. Nama :__________________ Alamat:_____________________________, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.
Kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan ikatan perjanjian penerbitan buku yang berjudul “___________________________” dengan memperhatikan ketentuan dan syarat-syarat tertuang dalam pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 1
(1) PIHAK PERTAMA menyediakan dan menyerahkan pada PIHAK KEDUA naskah yang berjudul “___________________________” yang diketik rapi siap untuk dicetak (Persklaar) lengkap dan muda dibaca disertai dengan gambar-gambar, foto-foto,daftar-daftar yang diperlukan untuk diterbitkan Menjadi buku.
(2) PIHAK PERTAMA menjamin sebagai pemilik sah dari naskah tersebut ayat (1)
(3) Perubahan judul dan isi dari naskah aslinya harus disepakati oleh kedua pihak.
Pasal 2
(1) PIHAK PERTAMA memberikan jaminan bahwa karangannya tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 serta Garis-Garis Besar Haluan Negara, tidak menyinggung hak cipta orang lain dan tidak memuat hal-hal yang dianggap fitnah, penghinaan atau merugikan nama baik pihak lain.
(2) PIHAK PERTAMA bertanggung jawab sepenuhnya apabila dikemudian hari terjadi gugatan oleh pihak lain atas isi naskah tersebut Pasal 1 ayat (1) perjanjian.
Pasal 3
PIHAK KEDUA bersedia menerbitkan naskah tersebut Pasal 1 ayat (1) perjanjian ini menjadi buku untuk keperluan PIHAK PERTAMA dan untuk umum.
Pasal 4
(1) Untuk penerbitan buku tersebut pada Pasal 1 ayat (1) diatas PIHAK KEDUA akan membayar pada PIHAK PERTAMA royalti sebesar ___% dari harga jual bruto (harga jual satuan buku sebelum dikurangi rabat) buku-buku yang terjual.
(2) Perhitungan dan pembayaran royalti akan dilakukan setiap bulan Januari dan Juli dari tahun yang berjalan.
(3) Untuk buku dengan sampul keras (Hard Cover) maka perhitungan royalty sebagai mana tersebut dalam ayat (1) Pasal ini dikurangi harga sampul.
Pasal 5
PIHAK PERTAMA tidak akan menyerahkan naskah atau kutipan naskah yang sama kepada pihak lain intuk diterbitkan.
Pasal 6
Jika terbitnya karya PIHAK PERTAMA habis terjual, maka untuk dilakukan cetak ulang berlaku untuk ketentuan- ketentuan sebagai berikut :
(1) PIHAK KEDUA memberitahukan pada PIHAK PERTAMA tentang maksudnya itu dengan memberikan kesempatan kepada PIHAK PERTAMA untuk mengadakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan yang dianggap perlu.
(2) PIHAK PERTAMA mengikat diri untuk melakukan pembaharuan dan perbaikan karyanya untuk cetak ulang dengan segera dan sebaik-baiknya.
(3) PIHAK KEDUA berhak menujuk orang lain yang dianggap cakap untuk melakukan perubahan atau perbaikan itu dalam hal PIHAK PERTAMA meninggal atau berhalangan setelah berunding dengan para ahli warisnya atau wakilnya, bila ada.
Pasal 7
(1) PIHAK KEDUA menetapkan oplah cetakan dan harga jual buku.
(2) Pada setiap cetakan akan disisihkan 10% dari seluruh jumlah oplah, untuk keperluan promosi, resensi, dan relasi serta eksemplar eksploitasi lainnya.
(3) Jumlah 10% tersebut ayat (2) dibebaskan dari perhitungan royalty.
Pasal 8
(1) Untuk mengadakan terjemahan atas buku tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) perjanjian ini untuk diperdagangkan, perlu mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari PIHAK PERTAMA.
(2) Jika PIHAK KEDUA dan PIHAK PERTAMA sepakat memberikan izin kepada pihak ketiga untuk menerjemahkan dan menerbitkan karya PIHAK PERTAMA dalam bahasa lain maka PIHAK KEDUA akan membebaskan ___% dari royalty yang diterimanya dari pihak ketiga tersebut kepada PIHAK PERTAMA.
(3) Jika terjemahan dan penerbitan dalam bahasa lain diselenggaraka sendiri oleh PIHAK KEDUA, maka kepada PIHAK PERTAMA akan diberikan royalty sebesar ___% dari harga jual bruto terbitan dalam bahasa lain. Pembayaran royalty tersebut ayat (3) dilakukan menurut ketentuan Pasal 4.
Pasal 9
Apabila Pihak Pertama meninggal dunia, maka hak dan kewajiban yang timbul akibat Surat Perjanjian ini beralih kepada:
a. Nama : ____________________________
b. Hubungan keluarga : ____________________________
c. Tempat tinggal : ____________________________
Pasal 10
(1) Apabila terjadi perbedaan pendapat atau perselisihan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian ini, kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah mufakat.
(2) Apabila penyelesaian dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat untuk menyelesaikannya secara hukum melalui pengadilan negeri /niaga Jakarta Pusat
Pasal 11
Hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian berdasarkan kesepakatan bersama antara pihak pertama dan kedua sebagai addendum dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.
Pasal 12
Perjanjian ini dibuat rangkap 2 (dua) asli, masing-masing sama bunyinya di atas kertas bermaterai cukup dan mempunyai kekuatan hukum yang sama setelah ditandatangani oleh masing-masing pihak.
PIHAK KEDUA PIHAK PERTAMA
(Direktur ITS Press) (Penulis)
(bahan SOW Angkatan ke-1, 24 November 2008 disampaikan oleh Tony Tedjo, M.Th)
Rabu, 03 Desember 2008
Senin, 03 November 2008
MENGAPA PENDETA TIDAK SUKA MENULIS?
Setiap tanggal 9 Februari kita memperingati Hari Pers Nasional. Kita seharusnya bangga bahwa kita memiliki hari pers nasional. Namun, budaya membaca, terlebih budaya menulis sangat kurang diminati. Kecenderungan orang pada masa kini adalah budaya dengar dan lihat. Apa yang didengar dan apa yang dilihatlah yang biasa diterapkan. Dengan asumsi bahwa mendengar dan melohat (menonton) tidak perlu memeras otak. Asumsi ini didukung pula oleh pandangan sekelompok orang yang memegang prinsip “serba praktis dan instant”. Maksudnya tidak usah cape-cape membaca atau menulis, toh dengan mendengar atau melihat saja kan lebih mudah dimengerti.
Anggapan-anggapan senada juga diajukan tidak hanya di kalangan pelajar atau mahasiswa, di lingkungan gereja pun budaya ini bertumbuh subur. Kita bisa melihatnya berdasarkan dugaan secara umum, bahwa kebanyakan para pendeta lebih senang untuk mengutarakan pesan firman Tuhan melalui kaset atau vcd ketimbang buku. Ada beberapa kemungkinan yang bias dijadikan alasan.
Pertama, tidak ada waktu. Jadual pelayanan yang padat, kurangnya waktu untuk mencatat, sibuknya melayani orang sakit, banyaknya jemaat yang mau dibaptiskan, padatnya acara kebaktian dan kesibukan membimbing jemaat yang akan menikah, menjadi alasan yang masuk akal mengapa para pendeta tidak ada waktu untuk menulis.
Kedua, tidak terbiasa. Kebiasaan seseorang sangat mempengaruhi kehidupannya. Ada banyak pendeta yang setiap kali berkhotbah tidak membuat kerangka khotbah yang akan dikhotbahkan terlebih dahulu. Mereka sudah terbiasa membawakan firman Tuhan secara langsung. Istilahnya, mengalir apa maunya Roh Kudus. Ini memang benar, namun sangat disayangkan bila bahan khotbah yang hendak disampaikan itu tidak didokumentasikan ke dalam bentuk tulisan. Bahan-bahan khotbah yang sudah dituliskan tersebut kan bisa dikumpulkan dan dibukukan, sehingga lebih efektif dan efisien untuk membina pertumbuhan jemaat.
Ketiga, tidak bisa. Memang, sebagian orang berpendapat bahwa menulis itu diperlukan suatu bakat khusus atau paling tidak harus belajar dahulu bagaimana untuk menulis. Namun sebenarnya, bila ada kemauan orang yang tadinya tidak bisa akan menjadi bias, bila sudah mencobanya berulangkali. Sama halnya dengan seorang anak kecil berusia empat tahun yang sedang belajar mengendarai sepeda. Bukankah tidak diperlukan bakat khusus untuk bisa mengendarai sepeda? Cukup dengan ketekunan untuk tidak cepat menyerah, maka akhirnya dia bias mengendarai sepeda dengan baik. Demikian pula dengan menulis. Tekun dan giat berlatih akan mengasah ketrampilan untuk menulis sehingga mahir.
Empat, honornya kecil. Sebagian orang berpendapat bahwa bila menulis di suatu majalah atau membuat suatu buku itu tidak dihargai. Honornya kecil dan tidak sebanding dengan waktu yang dikeluarkan. Itulah sebabnya, banyak orang yang enggan untuk menulis. Lebih cenderung untuk memilih secara lisan saja.
Lima, malas. Sifat malas menjadi alasan terakhir mengapa mereka tidak mau menulis. Malas menuangkan kata-kata ke dalam bentuk tulisan. Malas mengetik. Masal akalu tulisannya dianggap jelek. Malas memperbaiki kembali bila ada tulisan yang salah. Kemalasan merupapan alasan klasik yang tidk bisa dipungkiri lagi.
Solusi
Menulis itu penting, apapun alaannya menulis tetap harus dikembangkan. Pendeta pun jangan mau ketinggalan dengan jemaatnya. Pendeta pun jangan mau ketinggalan budaya menulis bagi kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus. Jangan sia-sia firman Tuhan yang sudah ditaburkan, tampunglah dengan tulisan menjadi sebuah buku.
(Karya Tony Tedjo, artikel ini telah dimuat pada Majalah BAHANA edisi Februari 2004. Tony Tedjo adalah pendiri dan ketua Komunitas Penulis Rohani /KPR; ketua dan pendiri Sekolah Menulis Alkitabiah /SOW; dan owner penerbit AGAPE)
Anggapan-anggapan senada juga diajukan tidak hanya di kalangan pelajar atau mahasiswa, di lingkungan gereja pun budaya ini bertumbuh subur. Kita bisa melihatnya berdasarkan dugaan secara umum, bahwa kebanyakan para pendeta lebih senang untuk mengutarakan pesan firman Tuhan melalui kaset atau vcd ketimbang buku. Ada beberapa kemungkinan yang bias dijadikan alasan.
Pertama, tidak ada waktu. Jadual pelayanan yang padat, kurangnya waktu untuk mencatat, sibuknya melayani orang sakit, banyaknya jemaat yang mau dibaptiskan, padatnya acara kebaktian dan kesibukan membimbing jemaat yang akan menikah, menjadi alasan yang masuk akal mengapa para pendeta tidak ada waktu untuk menulis.
Kedua, tidak terbiasa. Kebiasaan seseorang sangat mempengaruhi kehidupannya. Ada banyak pendeta yang setiap kali berkhotbah tidak membuat kerangka khotbah yang akan dikhotbahkan terlebih dahulu. Mereka sudah terbiasa membawakan firman Tuhan secara langsung. Istilahnya, mengalir apa maunya Roh Kudus. Ini memang benar, namun sangat disayangkan bila bahan khotbah yang hendak disampaikan itu tidak didokumentasikan ke dalam bentuk tulisan. Bahan-bahan khotbah yang sudah dituliskan tersebut kan bisa dikumpulkan dan dibukukan, sehingga lebih efektif dan efisien untuk membina pertumbuhan jemaat.
Ketiga, tidak bisa. Memang, sebagian orang berpendapat bahwa menulis itu diperlukan suatu bakat khusus atau paling tidak harus belajar dahulu bagaimana untuk menulis. Namun sebenarnya, bila ada kemauan orang yang tadinya tidak bisa akan menjadi bias, bila sudah mencobanya berulangkali. Sama halnya dengan seorang anak kecil berusia empat tahun yang sedang belajar mengendarai sepeda. Bukankah tidak diperlukan bakat khusus untuk bisa mengendarai sepeda? Cukup dengan ketekunan untuk tidak cepat menyerah, maka akhirnya dia bias mengendarai sepeda dengan baik. Demikian pula dengan menulis. Tekun dan giat berlatih akan mengasah ketrampilan untuk menulis sehingga mahir.
Empat, honornya kecil. Sebagian orang berpendapat bahwa bila menulis di suatu majalah atau membuat suatu buku itu tidak dihargai. Honornya kecil dan tidak sebanding dengan waktu yang dikeluarkan. Itulah sebabnya, banyak orang yang enggan untuk menulis. Lebih cenderung untuk memilih secara lisan saja.
Lima, malas. Sifat malas menjadi alasan terakhir mengapa mereka tidak mau menulis. Malas menuangkan kata-kata ke dalam bentuk tulisan. Malas mengetik. Masal akalu tulisannya dianggap jelek. Malas memperbaiki kembali bila ada tulisan yang salah. Kemalasan merupapan alasan klasik yang tidk bisa dipungkiri lagi.
Solusi
Menulis itu penting, apapun alaannya menulis tetap harus dikembangkan. Pendeta pun jangan mau ketinggalan dengan jemaatnya. Pendeta pun jangan mau ketinggalan budaya menulis bagi kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus. Jangan sia-sia firman Tuhan yang sudah ditaburkan, tampunglah dengan tulisan menjadi sebuah buku.
(Karya Tony Tedjo, artikel ini telah dimuat pada Majalah BAHANA edisi Februari 2004. Tony Tedjo adalah pendiri dan ketua Komunitas Penulis Rohani /KPR; ketua dan pendiri Sekolah Menulis Alkitabiah /SOW; dan owner penerbit AGAPE)
Jumat, 10 Oktober 2008
JURUS-JURUS MEMPERSIAPKAN MASA DEPAN
Allah berjanji bahwa orang percaya pasti memiliki masa depan. Janji ini tertuang dalam Amsal 23:18 “Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang”. Ayat firman Tuhan ini memberikan suatu harapan bahwa bagi kita selaku orang percaya pasti ada masa depan. Masa depan kita tidak akan hilang. Sebab Allah merancangkan rancangan-Nya yang mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang dikasihi-Nya, bukannya mendatangkan kecelakaan. Rancangan damai sejahtera ini diberikan kepada orang percaya sehingga memiliki hari depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11).
Setelah mengetahui bahwa ada kepastian akan masa depan, maka tidak berhenti sampai di sini. Perjalanan masih panjang. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kita mengisi masa depan kita sehingga bisa lebih maksimal dan efektif. Menjadi orang yang bukan biasa-biasa saja, melainkan orang yang luar biasa. Tentunya dalam mencapai hal ini kita harus bersifat aktif dan proaktif, artinya tidak bermasa bodoh atau berdiam diri menunggu “durian jatuh”. Menyikapi hal ini, paling tidak disarankan tiga hal berikut:
Pertama, memakai kemampuan (talenta, bakat dan karunia) yang sudah Tuhan berikan kepada kita secara maksimal. Sehingga hasil yang diperolehpun hasil yang maksimal. Sebagai contoh, misalnya apabila Anda adalah seorang pelajar atau mahasiswa, maka tempuhlah studimu secara maksimal. Jangan cepat merasa puas hanya memperoleh gelar sarjana. Bila ada kesempatan, kenapa tidak kita mengambilnya untuk mengembangkan studi kita. Apalagi bila keuangan dan usia mendukung (masih muda). Maka jangan ambil pusing, maksimalkanlah potensi Anda untuk mencapai tingkat pendidikan yang tinggi (mencapai doktor bila dimungkinkan). Sebab ada perbedaan bila suatu bidang ditangani oleh seorang sarjana dibandingkan dengan seorang doktor yang merupakan pakar dibidangnya. Tentunya, hal ini membawa dampak yang lebih besar ketimbang hanya menjadi sarjana. Atau contoh lainnya, bila Anda mempunyai talenta bermain musik. Maka kembangkanlah itu. Bila dimungkinkan sekolah musik. Sampai Anda menjadi seorang yang ahli menguasai alat musik tersebut. Sehingga melalui permainan musikmu banyak orang diberkati, bahkan bila memainkan musik rohani banyak orang yang dimenangkan bagi Tuhan melalui permainanmu. Pada intinya, apapun karunia, bakat atau talenta yang kita miliki, pakailah semuanya itu untuk kemuliaan nama Tuhan saja.
Kedua, membagikan berkat yang sudah Tuhan berikan kepada orang lain yang membutuhkan. Berkat yang bisa dibagikan di sini ada dua hal, yaitu berkat jasmani dan berkat rohani. Berkat jasmani yang dibagikan bisa berupa makanan, barang, maupun uang. Kita yang sudah diberkati Tuhan dengan berkat yang lebih, bisa menyalurkan kepada mereka yang berkekurangan dan memerlukan. Sebab ada begitu banyak orang miskin atau orang yang memerlukan uluran tangan kita, agar mereka bisa bertahan hidup. Dengan demikian, orang-orang yang kita bantu bisa merasakan kasih Tuhan Yesus yang dibagikan melalui bantuan kita kepadanya. Sedangkan berkat rohani yang dibagikan adalah memberitakan Kabar Baik (Injil) bagi mereka yang tersesat dan sedang mencari jalan kebenaran. Bagi orang-orang yang di luar Tuhan, mereka perlu diceritakan bahwa ada berita bahagia. Keselamatan yang diberikan secara cuma-cuma oleh Allah kepada manusia yang berdosa. Cara yang sangat mudah adalah dengan menjadi terang dan garam di tengah lingkungan masyarakat di mana kita berada. Biarkan orang lain melihat perbedaan tersebut. Sehingga akhirnya mereka akan bertanya-tanya dan menanyakan sendiri kepada kita mengenai rahasianya. Di sinilah kesempatan bagi kita untuk menceritakan siapa Yesus Kristus itu. Mengapa Yesus mati di atas kayu salib. Dan jangan terlewatkan, bahwa Yesus menjaminkan diri-Nya bahwa Dia adalah Jalan keselamatan, Kebenaran, dan Hidup (Yohanes 14:6).
Ketiga, membekali diri dengan Alkitab (back to Bible). Alkitab dijadikan sebagai dasar dan sandaran dalam memberikan keputusan atau bertindak. Alkitab menjadi pelita dalam menerangi jalan hidup kita yang berada di tengah kegelapan dunia (Mazmur 119:105). Menjadikan kebiasaan membaca Alkitab sebagai gaya hidup. Membaca secara seksama, merenungkan, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bekali firman Tuhan inilah maka kehidupan rohani kita tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran dunia yang pada ujungnya menuju kepada maut. Menghindarkan diri dari jerat-jerat ajaran sesat yang diajarkan oleh guru-guru palsu.
Memang, setelah menjalankan ketiga hal di atas, tidaklah membuat kita menjadi kebal terhadap godaan untuk tenggelam dalam geloranya. Akan tetapi paling tidak kita mampu bertahan dan bisa menghindari berbagai jerat-jerat maut yang ditawarkan oleh dunia dan oleh Iblis. Sehingga pada akhirnya masa depan kita benar-benar masa depan yang penuh harapan. (Tony Tedjo)
Setelah mengetahui bahwa ada kepastian akan masa depan, maka tidak berhenti sampai di sini. Perjalanan masih panjang. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kita mengisi masa depan kita sehingga bisa lebih maksimal dan efektif. Menjadi orang yang bukan biasa-biasa saja, melainkan orang yang luar biasa. Tentunya dalam mencapai hal ini kita harus bersifat aktif dan proaktif, artinya tidak bermasa bodoh atau berdiam diri menunggu “durian jatuh”. Menyikapi hal ini, paling tidak disarankan tiga hal berikut:
Pertama, memakai kemampuan (talenta, bakat dan karunia) yang sudah Tuhan berikan kepada kita secara maksimal. Sehingga hasil yang diperolehpun hasil yang maksimal. Sebagai contoh, misalnya apabila Anda adalah seorang pelajar atau mahasiswa, maka tempuhlah studimu secara maksimal. Jangan cepat merasa puas hanya memperoleh gelar sarjana. Bila ada kesempatan, kenapa tidak kita mengambilnya untuk mengembangkan studi kita. Apalagi bila keuangan dan usia mendukung (masih muda). Maka jangan ambil pusing, maksimalkanlah potensi Anda untuk mencapai tingkat pendidikan yang tinggi (mencapai doktor bila dimungkinkan). Sebab ada perbedaan bila suatu bidang ditangani oleh seorang sarjana dibandingkan dengan seorang doktor yang merupakan pakar dibidangnya. Tentunya, hal ini membawa dampak yang lebih besar ketimbang hanya menjadi sarjana. Atau contoh lainnya, bila Anda mempunyai talenta bermain musik. Maka kembangkanlah itu. Bila dimungkinkan sekolah musik. Sampai Anda menjadi seorang yang ahli menguasai alat musik tersebut. Sehingga melalui permainan musikmu banyak orang diberkati, bahkan bila memainkan musik rohani banyak orang yang dimenangkan bagi Tuhan melalui permainanmu. Pada intinya, apapun karunia, bakat atau talenta yang kita miliki, pakailah semuanya itu untuk kemuliaan nama Tuhan saja.
Kedua, membagikan berkat yang sudah Tuhan berikan kepada orang lain yang membutuhkan. Berkat yang bisa dibagikan di sini ada dua hal, yaitu berkat jasmani dan berkat rohani. Berkat jasmani yang dibagikan bisa berupa makanan, barang, maupun uang. Kita yang sudah diberkati Tuhan dengan berkat yang lebih, bisa menyalurkan kepada mereka yang berkekurangan dan memerlukan. Sebab ada begitu banyak orang miskin atau orang yang memerlukan uluran tangan kita, agar mereka bisa bertahan hidup. Dengan demikian, orang-orang yang kita bantu bisa merasakan kasih Tuhan Yesus yang dibagikan melalui bantuan kita kepadanya. Sedangkan berkat rohani yang dibagikan adalah memberitakan Kabar Baik (Injil) bagi mereka yang tersesat dan sedang mencari jalan kebenaran. Bagi orang-orang yang di luar Tuhan, mereka perlu diceritakan bahwa ada berita bahagia. Keselamatan yang diberikan secara cuma-cuma oleh Allah kepada manusia yang berdosa. Cara yang sangat mudah adalah dengan menjadi terang dan garam di tengah lingkungan masyarakat di mana kita berada. Biarkan orang lain melihat perbedaan tersebut. Sehingga akhirnya mereka akan bertanya-tanya dan menanyakan sendiri kepada kita mengenai rahasianya. Di sinilah kesempatan bagi kita untuk menceritakan siapa Yesus Kristus itu. Mengapa Yesus mati di atas kayu salib. Dan jangan terlewatkan, bahwa Yesus menjaminkan diri-Nya bahwa Dia adalah Jalan keselamatan, Kebenaran, dan Hidup (Yohanes 14:6).
Ketiga, membekali diri dengan Alkitab (back to Bible). Alkitab dijadikan sebagai dasar dan sandaran dalam memberikan keputusan atau bertindak. Alkitab menjadi pelita dalam menerangi jalan hidup kita yang berada di tengah kegelapan dunia (Mazmur 119:105). Menjadikan kebiasaan membaca Alkitab sebagai gaya hidup. Membaca secara seksama, merenungkan, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bekali firman Tuhan inilah maka kehidupan rohani kita tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran dunia yang pada ujungnya menuju kepada maut. Menghindarkan diri dari jerat-jerat ajaran sesat yang diajarkan oleh guru-guru palsu.
Memang, setelah menjalankan ketiga hal di atas, tidaklah membuat kita menjadi kebal terhadap godaan untuk tenggelam dalam geloranya. Akan tetapi paling tidak kita mampu bertahan dan bisa menghindari berbagai jerat-jerat maut yang ditawarkan oleh dunia dan oleh Iblis. Sehingga pada akhirnya masa depan kita benar-benar masa depan yang penuh harapan. (Tony Tedjo)
Rabu, 08 Oktober 2008
POTENSI DAN MANFAAT SELF-PUBLISHING
Tren penerbitan mandiri (self/independent publishing) sudah tak terbendung lagi. Kini, semakin banyak saja individu atau lembaga dari berbagai strata sosial dan ekonomi memanfaatkannya. Keberadan mereka, di satu sisi sungguh-sungguh semakin menggairahkan dinamika penerbitan nasional. Namun di sisi lain, menjamurnya penerbitan mandiri juga berarti “tercuri”-nya sebagian dari ceruk atau potensi pasar penerbitan-penerbitan umum. Walau begitu, sejauh tren tersebut semakin memperkaya khasanah perbukuan nasional, rasanya patut disambut positif.
Mengapa self/independent publishing menggejala bahkan bisa dikatakan semakin ngetren? Barangkali, itu merupakan pendobrakan atas dominasi cara penerbitan sebelumnya yang masih didominasi oleh penerbitan-penerbitan umum. Begitu kran demokrasi dibuka lebar-lebar, soal penerbitan pun bukan sesuatu yang sakral lagi dan sekarang semua orang bisa melakukannya.
Pada prinsipnya, keuntungan terbesar yang bisa diraih manakala kita menjadi self-publisher adalah pada kebebasan untuk menentukan apa pun bentuk, rupa, dan isi buku yang kita terbitkan nantinya. Namun demikian, ruang bebas itulah yang sejatinya bisa kita tarik-ulur untuk mendapatkan berbagai potensi dan manfaat lainnya. Saya coba ulas secara singkat di bawah ini.
1. Penampung tema-tema buku di luar mainstream penerbitan. Bukan rahasia lagi, salah satu alasan self-publishing adalah kesulitan penulis untuk mendapatkan penerbit yang mau menerbitkan naskahnya. Terlebih bila naskah tersebut tidak memenuhi standar kualitas atau tidak segaris dengan kepentingan, visi, dan misi penerbit. Terkadang, naskah-naskah yang membahas tema sangat spesifik, naskah peka dan bertendensi kontroversi, naskah sangat unik, naskah pembelaan (buku putih), atau naskah propaganda, kurang diminati penerbit umum.
Di sinilah alternatif self-publishing menjadi solusi. Kalau kita menjadi self-publihser, kita bisa menerbitkan naskah jenis apa pun sepanjang itu memenuhi kepentingan dan kebutuhan kita. Soal kualitas isi, format, kemasan, redaksional, dan hal teknis lainnya, kita sendirilah yang menetapkan. Bagi kalangan tertentu, sifat merdeka self-publishing tersebut begitu dinikmati dan dirasa mendatangkan kemanfaatan yang tak terbandingkan.
2. Manfaat branding institusi atau personal. Sudah tidak terbantahkan lagi, selain menjadi medium penyampai ide, pesan, dan gagasan, buku juga bisa dikemas sebagai communications tools. Bahkan belakangan, buku menjadi bagian atau pilihan dari strategi branding (penciptaan dan pengembangan merek diri). Buku adalah tenaga “humas” atau pemoles citra yang efektif, dan semakin sering menjadi pilihan alat untuk menggapai brand awareness pribadi maupun lembaga.
Nah, bila kita menjadi self-publihser, kita punya kuasa sepenuhnya untuk memanfaatkan potensi buku sebagai brand creator atau bahkan brand domination. Lihat bagaimana Hermawan Kartajaya yang biasa menggunakan penerbitan besar dan mapan, akhirnya toh membuat penerbitan mandiri demi semakin memoles brand MarkPlus&Co. Simak pula bagaimana Andrie Wongso mengukuhkan dominasi kiprah kemotivatorannya dengan penerbitan mandiri AW Publishing.
Ke depan, saya semakin yakin bahwa akan semakin banyak tokoh, lembaga, pribadi, atau kaum profesional yang memanfaatkan self-publishing sebagai leverage factor bagi kiprah publik atau karier mereka. Sebab, selain relatif lebih murah pembuatannya ketimbang pasang iklan di media massa cetak atau televisi, buku juga masih jauh lebih dihargai sebagai karya intelektual yang serius.
3. Manfaat iklan internal dan potensi iklan eksternal. Salah satu potensi yang belum banyak disadari atau dimanfaatkan oleh para self-publisher adalah potensi iklan dalam buku. Memang, pemanfaatan sebagian halaman buku bagi iklan internal (produk-produk sendiri) sudah umum sifatnya. Kebanyakan, iklan internal berisi judul-judul buku lain yang diterbitkan, iklan pelatihan, company profile, atau produk-produk penerbit mandiri lainnya yang masih relevan dengan judul buku.
Tetapi, potensi buku tema-tema tertentu dalam menggaet iklan atau sponshorship pihak luar tampaknya belum termanfaatkan secara maksimal. Padahal, buku-buku hobi, panduan, atau product knowledge selalu bersinggungan dengan produk-produk massal yang relevan. Ini berarti potensi iklan dan sudah selayaknya dimaksimalkan.
4. Potensi penjualan langsung. Salah satu alasan menarik mengapa sekarang begitu banyak profesional, lembaga konsultan, biro pelatihan, trainer, pembicara publik, pengajar, termasuk rohaniawan/pendakwah membentuk self-publishing adalah potensi penjualan buku secara langsung. Biasanya, kalau mereka menerbitkan buku di penerbitan umum, mereka hanya mendapatkan royalti sekitar 10 persen atau rabat pembelian langsung ke penerbit maksimal 30 persen (sebagian penerbit berani memberi diskon hingga 45 persen untuk pembelian tunai dalam jumlah besar).
Situasi akan berbeda hampir 180 derajat kalau mereka membuat penerbitan dan menerbitkan sendiri karyanya. Mereka bisa mendapatkan keuntungan maksimal atau nyaris bulat jika menerbitkan dan menjualnya sendiri. Seorang trainer, motivator, pembicara publik, atau pendakwah yang memiliki audiens/captive market yang jelas yang pasti jauh lebih mudah menjual sendiri bukunya. Saya menyaksikan, seorang pembicara publik bisa menjual buku sendiri 300-400 eksemplar sekali seminar selama dua jam. Bandingkan dengan rata-rata jumlah penjualan di toko buku dalam situasi normal. Jauh sekali, bukan?
5. Potensi bisnis penerbitan. Sebuah buku terbitan sendiri yang sukses atau laku keras jelas membuka peluang penerbitan buku-buku berikutnya. Dalam hitung-hitungan sederhana, sebuah judul buku yang laris (sekali cetak) hasilnya bisa digunakan untuk sekali cetak ulang dan cetak satu judul baru. Kalau lebih efisien lagi production cost-nya, perbandingannya bisa satu buku sukses kemudian menghasilkan sekali cetak ulang judul lama dan cetak lagi satu setengah judul baru. Rasio inilah yang bila dikelola dengan baik bisa mentransformasi self-publishing menjadi bisnis penerbitan berskala besar.
Nah, silakan menyimak kasus berikut ini. Untuk satu judul buku saja, ESQ, karya Ari Ginanjar yang diterbitkan sendiri itu bisa sampai tercetak 500.000 eksemplar lebih. Taruh saja asumsi sekali cetak sekitar 5.000 eksemplar (faktanya pasti lebih), berarti buku itu sudah 100 kali cetak. Masih dengan rasio sekali cetak untuk satu judul menghasilkan sekali cetak ulang dan sekali cetak satu judul baru, maka hitungan terkasar menunjukkan minimal ada 200 judul baru bisa diproduksi. Ingat, itu baru dari satu judul buku yang sukses fenomenal (mega-bestseller) dan meng-generate potensi penerbitan judul-judul baru lainnya.
Dari hitung kasar saya dan dengan harga konstan buku Rp45.000 (2001-2007), satu judul ESQ (baik diterbitkan sendiri atau misalnya diterbitkan penerbit lain) tadi sudah memberikan pendapatan royalti kepada penulisnya sebesar Rp2,125 miliar. Apabila self-publishing Ary Ginanjar menggunakan distributor berdiskon 50 persen, pendapatan yang diraih sebesar Rp10,625 miliar atau net profit Rp4,250 miliar (nyaris Rp50 juta per bulan).
Apabila separuh saja dari oplah 500.000 eksemplar itu dijual secara direct selling melalui pelatihan-pelatihan, maka pendapatan yang diraih mendekati Rp16 miliar. Atau, jika seluruh oplah buku tersebut dijual melalui direct selling, maka hasil yang dinikmati oleh penerbitan sendiri ini mencapai Rp21,250 miliar. Makanya, siapa bilang jadi penulis dan penerbit mandiri nggak bisa jadi miliarder he he he…?![ez]
* Edy Zaqeus adalah seorang editor profesional, konsultan, self-publisher, dan penulis buku laris Resep Cespleng Menulis Buku Bestseller (Fivestar, 2008). Ia dapat dihubungi melalui email: edzaqeus@gmail.com atau melalui website: www.pembelajar.com dan weblog: http://ezonwriting.wordpress.com. Catatan: Artikel ini telah dimuat sebelumnya di Majalah MATABACA Volume 6, No.12, Agustus 2008 (Edisi Khusus Ulang Tahun).
Mengapa self/independent publishing menggejala bahkan bisa dikatakan semakin ngetren? Barangkali, itu merupakan pendobrakan atas dominasi cara penerbitan sebelumnya yang masih didominasi oleh penerbitan-penerbitan umum. Begitu kran demokrasi dibuka lebar-lebar, soal penerbitan pun bukan sesuatu yang sakral lagi dan sekarang semua orang bisa melakukannya.
Pada prinsipnya, keuntungan terbesar yang bisa diraih manakala kita menjadi self-publisher adalah pada kebebasan untuk menentukan apa pun bentuk, rupa, dan isi buku yang kita terbitkan nantinya. Namun demikian, ruang bebas itulah yang sejatinya bisa kita tarik-ulur untuk mendapatkan berbagai potensi dan manfaat lainnya. Saya coba ulas secara singkat di bawah ini.
1. Penampung tema-tema buku di luar mainstream penerbitan. Bukan rahasia lagi, salah satu alasan self-publishing adalah kesulitan penulis untuk mendapatkan penerbit yang mau menerbitkan naskahnya. Terlebih bila naskah tersebut tidak memenuhi standar kualitas atau tidak segaris dengan kepentingan, visi, dan misi penerbit. Terkadang, naskah-naskah yang membahas tema sangat spesifik, naskah peka dan bertendensi kontroversi, naskah sangat unik, naskah pembelaan (buku putih), atau naskah propaganda, kurang diminati penerbit umum.
Di sinilah alternatif self-publishing menjadi solusi. Kalau kita menjadi self-publihser, kita bisa menerbitkan naskah jenis apa pun sepanjang itu memenuhi kepentingan dan kebutuhan kita. Soal kualitas isi, format, kemasan, redaksional, dan hal teknis lainnya, kita sendirilah yang menetapkan. Bagi kalangan tertentu, sifat merdeka self-publishing tersebut begitu dinikmati dan dirasa mendatangkan kemanfaatan yang tak terbandingkan.
2. Manfaat branding institusi atau personal. Sudah tidak terbantahkan lagi, selain menjadi medium penyampai ide, pesan, dan gagasan, buku juga bisa dikemas sebagai communications tools. Bahkan belakangan, buku menjadi bagian atau pilihan dari strategi branding (penciptaan dan pengembangan merek diri). Buku adalah tenaga “humas” atau pemoles citra yang efektif, dan semakin sering menjadi pilihan alat untuk menggapai brand awareness pribadi maupun lembaga.
Nah, bila kita menjadi self-publihser, kita punya kuasa sepenuhnya untuk memanfaatkan potensi buku sebagai brand creator atau bahkan brand domination. Lihat bagaimana Hermawan Kartajaya yang biasa menggunakan penerbitan besar dan mapan, akhirnya toh membuat penerbitan mandiri demi semakin memoles brand MarkPlus&Co. Simak pula bagaimana Andrie Wongso mengukuhkan dominasi kiprah kemotivatorannya dengan penerbitan mandiri AW Publishing.
Ke depan, saya semakin yakin bahwa akan semakin banyak tokoh, lembaga, pribadi, atau kaum profesional yang memanfaatkan self-publishing sebagai leverage factor bagi kiprah publik atau karier mereka. Sebab, selain relatif lebih murah pembuatannya ketimbang pasang iklan di media massa cetak atau televisi, buku juga masih jauh lebih dihargai sebagai karya intelektual yang serius.
3. Manfaat iklan internal dan potensi iklan eksternal. Salah satu potensi yang belum banyak disadari atau dimanfaatkan oleh para self-publisher adalah potensi iklan dalam buku. Memang, pemanfaatan sebagian halaman buku bagi iklan internal (produk-produk sendiri) sudah umum sifatnya. Kebanyakan, iklan internal berisi judul-judul buku lain yang diterbitkan, iklan pelatihan, company profile, atau produk-produk penerbit mandiri lainnya yang masih relevan dengan judul buku.
Tetapi, potensi buku tema-tema tertentu dalam menggaet iklan atau sponshorship pihak luar tampaknya belum termanfaatkan secara maksimal. Padahal, buku-buku hobi, panduan, atau product knowledge selalu bersinggungan dengan produk-produk massal yang relevan. Ini berarti potensi iklan dan sudah selayaknya dimaksimalkan.
4. Potensi penjualan langsung. Salah satu alasan menarik mengapa sekarang begitu banyak profesional, lembaga konsultan, biro pelatihan, trainer, pembicara publik, pengajar, termasuk rohaniawan/pendakwah membentuk self-publishing adalah potensi penjualan buku secara langsung. Biasanya, kalau mereka menerbitkan buku di penerbitan umum, mereka hanya mendapatkan royalti sekitar 10 persen atau rabat pembelian langsung ke penerbit maksimal 30 persen (sebagian penerbit berani memberi diskon hingga 45 persen untuk pembelian tunai dalam jumlah besar).
Situasi akan berbeda hampir 180 derajat kalau mereka membuat penerbitan dan menerbitkan sendiri karyanya. Mereka bisa mendapatkan keuntungan maksimal atau nyaris bulat jika menerbitkan dan menjualnya sendiri. Seorang trainer, motivator, pembicara publik, atau pendakwah yang memiliki audiens/captive market yang jelas yang pasti jauh lebih mudah menjual sendiri bukunya. Saya menyaksikan, seorang pembicara publik bisa menjual buku sendiri 300-400 eksemplar sekali seminar selama dua jam. Bandingkan dengan rata-rata jumlah penjualan di toko buku dalam situasi normal. Jauh sekali, bukan?
5. Potensi bisnis penerbitan. Sebuah buku terbitan sendiri yang sukses atau laku keras jelas membuka peluang penerbitan buku-buku berikutnya. Dalam hitung-hitungan sederhana, sebuah judul buku yang laris (sekali cetak) hasilnya bisa digunakan untuk sekali cetak ulang dan cetak satu judul baru. Kalau lebih efisien lagi production cost-nya, perbandingannya bisa satu buku sukses kemudian menghasilkan sekali cetak ulang judul lama dan cetak lagi satu setengah judul baru. Rasio inilah yang bila dikelola dengan baik bisa mentransformasi self-publishing menjadi bisnis penerbitan berskala besar.
Nah, silakan menyimak kasus berikut ini. Untuk satu judul buku saja, ESQ, karya Ari Ginanjar yang diterbitkan sendiri itu bisa sampai tercetak 500.000 eksemplar lebih. Taruh saja asumsi sekali cetak sekitar 5.000 eksemplar (faktanya pasti lebih), berarti buku itu sudah 100 kali cetak. Masih dengan rasio sekali cetak untuk satu judul menghasilkan sekali cetak ulang dan sekali cetak satu judul baru, maka hitungan terkasar menunjukkan minimal ada 200 judul baru bisa diproduksi. Ingat, itu baru dari satu judul buku yang sukses fenomenal (mega-bestseller) dan meng-generate potensi penerbitan judul-judul baru lainnya.
Dari hitung kasar saya dan dengan harga konstan buku Rp45.000 (2001-2007), satu judul ESQ (baik diterbitkan sendiri atau misalnya diterbitkan penerbit lain) tadi sudah memberikan pendapatan royalti kepada penulisnya sebesar Rp2,125 miliar. Apabila self-publishing Ary Ginanjar menggunakan distributor berdiskon 50 persen, pendapatan yang diraih sebesar Rp10,625 miliar atau net profit Rp4,250 miliar (nyaris Rp50 juta per bulan).
Apabila separuh saja dari oplah 500.000 eksemplar itu dijual secara direct selling melalui pelatihan-pelatihan, maka pendapatan yang diraih mendekati Rp16 miliar. Atau, jika seluruh oplah buku tersebut dijual melalui direct selling, maka hasil yang dinikmati oleh penerbitan sendiri ini mencapai Rp21,250 miliar. Makanya, siapa bilang jadi penulis dan penerbit mandiri nggak bisa jadi miliarder he he he…?![ez]
* Edy Zaqeus adalah seorang editor profesional, konsultan, self-publisher, dan penulis buku laris Resep Cespleng Menulis Buku Bestseller (Fivestar, 2008). Ia dapat dihubungi melalui email: edzaqeus@gmail.com atau melalui website: www.pembelajar.com dan weblog: http://ezonwriting.wordpress.com. Catatan: Artikel ini telah dimuat sebelumnya di Majalah MATABACA Volume 6, No.12, Agustus 2008 (Edisi Khusus Ulang Tahun).
Selasa, 07 Oktober 2008
SEKILAS TENTANG PHELPS, SANG PEMECAH REKOR RENANG DI OLIMPIADE BEIJING 2008
Potensi manusia begitu besar dan tidak terbatas. Terbukti selalu Ungkapan Phelps sekaligus menjelaskan begitu besar keyakinannya untuk menang. Ia tidak membuang waktu untuk terus berpikir. Ia hanya berusaha berbuat sebaik mungkin. Jika Anda ingin berhasil, maka pastikan Anda selalu berbuat yang terbaik dan berusaha sekuat tenaga. Sejak 4 tahun yang lalu Phelps sudah optimis bakal meraih keberhasilan di olimpiade Beijing (2008). Sikap Phelps yang selalu optimis adalah salah satu faktor yang membuat pria tersebut selalu berusaha melakukan hal terbaik. Tak heran jika ia begitu bersemangat, mampu fokus pada hasil positif dan mengabaikan hal-hal yang kurang bermanfaat. “Saya senang bertanding. Saya suka berdiri di pinggir kolam renang lalu menyebur ke kolam renang bertanding dengan siapapun yang menjadi lawan saya,” katanya. Begitu besar kekuatan pikiran, terutama kekuatan pikiran bawah sadar. Phelps begitu optimis, artinya kondisi pikiran bawah sadar Phelps sudah terprogram bahwa ia pasti mampu meraih keberhasilan. Keyakinan yang begitu kuat membuat Phelps tak kenal lelah berlatih, penuh semangat, dan mampu melakukan yang terbaik. Hal serupa dapat terjadi pada kita, jika kita memiliki keyakinan yang kuat untuk berhasil. Keyakinan tak akan membuat kita membuang waktu percuma, karena ragu-ragu setelah melihat tantangan di depan. Keyakinan akan membuat kita mampu memfokuskan diri pada hal-hal yang bermanfaat dan mendukung usaha kita menciptakan prestasi mengagumkan. Sementara bila kita perhatikan, keberhasilan Phelps tak lepas dari orang-orang di sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang mendukung cita-cita Phelps tercapai, diantaranya adalah para ahli fisika yang mendesainkan pakaian renang ‘hiu’ untuknya. Diyakini bahwa pakaian renang tersebut memudahkan Phelps mengarungi air dan menambah kecepatan renangnya sampai 4%. Para ahli fisika itu adalah orang-orang penting di balik keberhasilan Phelps menciptakan rekor cemerlang di pesta olah raga akbar tersebut. Diantara orang-orang yang mematahkan semangat juang tentu masih ada orang-orang yang menyediakan dukungan dan membantu kita meraih keberhasilan. Berusahalah untuk membina hubungan yang baik dengan mereka. Karena peran mereka pasti sangat penting dalam membantu kita meraih keberhasilan. Sedikit kisah tentang Phelps telah menginspirasi begitu banyak hal yang dapat membantu kita mencapai keberhasilan di bidang yang kita inginkan. Seandainya kita mencermati, masing-masing diantara kita mempunyai semua kekuatan tersebut. Satu-satunya yang kita butuhkan lagi hanyalah keberanian untuk segera melangkah menciptakan keajaiban yang kita harapkan. *Andrew Ho adalah seorang pengusaha, motivator, dan penulis buku-buku best seller.Kunjungi websitenya di : www.andrewho-uol.com ada rekor baru dalam setiap penyelenggaraan olimpiade. Dalam sejarah Olimpiade muncul para pemecah rekor yaitu Michael Phelps (perenang), Carl Lewis (pelari), Mark spitz (perenang), Paavo Nurmi (pelari jarak jauh) dan Larysa Latynina (pesenam peraih 9 medali emas). Michael Fred Phelps, kelahiran Baltimore-AS, berhasil merebut 8 medali emas, memecahkan rekor Mark Spitz yang pernah meraih 7 medali emas pada olimpiade Munchen tahun 1972. Puluhan medali emas selalu ia dapatkan dalam berbagai kompetisi kelas dunia, misalnya World Championships (Yokohama, Jepang 2002), Pan Pacific Championship (Kanada 2006), dan lain sebagainya. Prestasi Phelps menginspirasi kita begitu besar potensi di dalam diri manusia. Bahkan beberapa hal tentang Phelps berikut ini menjadi acuan penting untuk mengeksplorasi potensi tersebut. Salah satu yang dapat kita teladani dari pemuda usia 23 tahun ini adalah kebiasaan Phelps yang selalu fokus pada aktifitas-aktifitas penting untuk mencapai tujuan. Contohnya Phelps tidak berusaha melakukan sesuatu yang dilakukan orang lain. Sebaliknya, ia hanya fokus untuk terus berlatih dan meningkatkan kemampuannya berenang cepat. “Saya mengerti jika saya berlatih sekeras mungkin dan melakukan sesuatu yang berbeda, maka saya akan baik-baik saja. Saya senang bertanding sebaik mungkin. Saya dapat mengontrol apa yang saya lakukan dan mempersiapkan diri sebaik mungkin, lalu saya akan senang. Hanya itu persoalannya,” kata Phelps saat diwawancara. Phelps sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum Olimpiade Beijing diselenggarakan. Selama lebih dari 300 hari sebelumnya Phelps sudah berlatih berenang. Bagi Phelps, tiada hari tanpa melatih kecepatan berenang, walaupun itu hari libur ataupun hari-hari istimewa lainnya. Phelps begitu yakin akan kemampuannya. Ia tidak merasa ragu untuk menyingkirkan penghalang yang dapat menghambat dirinya menuju kemenangan dengan terus berlatih tanpa kenal lelah. Begitupun bila kita ingin mengekplorasi potensi diri, buatlah semacam daftar hal-hal yang mungkin dapat menghambat produktifitas, menyebabkan pemborosan waktu dan energi, atau bahkan sumber stres. Usahakan untuk mengurangi sedikit demi sedikit sampai hambatan-hambatan itu benar-benar hilang. Milikilah komitmen yang besar untuk menciptakan perubahan. Jangan malas untuk terus berbenah dan mengerjakan tanggung jawab secara sistematis yang mendukung pencapaian kesuksesan. Dengan demikian prestasi terbaik sekalipun akan mudah diraih. Sebagaimana Phelps meyakini ia dapat mengontrol persiapan dan aktifitas yang ingin ia lakukan, meskipun ia tidak dapat mengontrol orang lain maupun hasil yang akan ia dapatkan. Ketika diwawancara Phelps menjelaskan bahwa tak ada hal penting yang ia pikirkan. Sebab ia mengaku tidak dapat bertanding sekaligus berpikir. Yang ada di benaknya hanyalah berusaha sebaik dan sekeras mungkin. “During the heat of competition is no time for thinking, it is a time for doing. – Di puncak kompetisi tak ada waktu untuk berpikir, itu waktu untuk berusaha,” tandasnya.
Ungkapan Phelps sekaligus menjelaskan begitu besar keyakinannya untuk menang. Ia tidak membuang waktu untuk terus berpikir. Ia hanya berusaha berbuat sebaik mungkin. Jika Anda ingin berhasil, maka pastikan Anda selalu berbuat yang terbaik dan berusaha sekuat tenaga. Sejak 4 tahun yang lalu Phelps sudah optimis bakal meraih keberhasilan di olimpiade Beijing (2008). Sikap Phelps yang selalu optimis adalah salah satu faktor yang membuat pria tersebut selalu berusaha melakukan hal terbaik. Tak heran jika ia begitu bersemangat, mampu fokus pada hasil positif dan mengabaikan hal-hal yang kurang bermanfaat. “Saya senang bertanding. Saya suka berdiri di pinggir kolam renang lalu menyebur ke kolam renang bertanding dengan siapapun yang menjadi lawan saya,” katanya. Begitu besar kekuatan pikiran, terutama kekuatan pikiran bawah sadar. Phelps begitu optimis, artinya kondisi pikiran bawah sadar Phelps sudah terprogram bahwa ia pasti mampu meraih keberhasilan. Keyakinan yang begitu kuat membuat Phelps tak kenal lelah berlatih, penuh semangat, dan mampu melakukan yang terbaik. Hal serupa dapat terjadi pada kita, jika kita memiliki keyakinan yang kuat untuk berhasil. Keyakinan tak akan membuat kita membuang waktu percuma, karena ragu-ragu setelah melihat tantangan di depan. Keyakinan akan membuat kita mampu memfokuskan diri pada hal-hal yang bermanfaat dan mendukung usaha kita menciptakan prestasi mengagumkan. Sementara bila kita perhatikan, keberhasilan Phelps tak lepas dari orang-orang di sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang mendukung cita-cita Phelps tercapai, diantaranya adalah para ahli fisika yang mendesainkan pakaian renang ‘hiu’ untuknya. Diyakini bahwa pakaian renang tersebut memudahkan Phelps mengarungi air dan menambah kecepatan renangnya sampai 4%. Para ahli fisika itu adalah orang-orang penting di balik keberhasilan Phelps menciptakan rekor cemerlang di pesta olah raga akbar tersebut. Diantara orang-orang yang mematahkan semangat juang tentu masih ada orang-orang yang menyediakan dukungan dan membantu kita meraih keberhasilan. Berusahalah untuk membina hubungan yang baik dengan mereka. Karena peran mereka pasti sangat penting dalam membantu kita meraih keberhasilan. Sedikit kisah tentang Phelps telah menginspirasi begitu banyak hal yang dapat membantu kita mencapai keberhasilan di bidang yang kita inginkan. Seandainya kita mencermati, masing-masing diantara kita mempunyai semua kekuatan tersebut. Satu-satunya yang kita butuhkan lagi hanyalah keberanian untuk segera melangkah menciptakan keajaiban yang kita harapkan. *Andrew Ho adalah seorang pengusaha, motivator, dan penulis buku-buku best seller.Kunjungi websitenya di : www.andrewho-uol.com
Ungkapan Phelps sekaligus menjelaskan begitu besar keyakinannya untuk menang. Ia tidak membuang waktu untuk terus berpikir. Ia hanya berusaha berbuat sebaik mungkin. Jika Anda ingin berhasil, maka pastikan Anda selalu berbuat yang terbaik dan berusaha sekuat tenaga. Sejak 4 tahun yang lalu Phelps sudah optimis bakal meraih keberhasilan di olimpiade Beijing (2008). Sikap Phelps yang selalu optimis adalah salah satu faktor yang membuat pria tersebut selalu berusaha melakukan hal terbaik. Tak heran jika ia begitu bersemangat, mampu fokus pada hasil positif dan mengabaikan hal-hal yang kurang bermanfaat. “Saya senang bertanding. Saya suka berdiri di pinggir kolam renang lalu menyebur ke kolam renang bertanding dengan siapapun yang menjadi lawan saya,” katanya. Begitu besar kekuatan pikiran, terutama kekuatan pikiran bawah sadar. Phelps begitu optimis, artinya kondisi pikiran bawah sadar Phelps sudah terprogram bahwa ia pasti mampu meraih keberhasilan. Keyakinan yang begitu kuat membuat Phelps tak kenal lelah berlatih, penuh semangat, dan mampu melakukan yang terbaik. Hal serupa dapat terjadi pada kita, jika kita memiliki keyakinan yang kuat untuk berhasil. Keyakinan tak akan membuat kita membuang waktu percuma, karena ragu-ragu setelah melihat tantangan di depan. Keyakinan akan membuat kita mampu memfokuskan diri pada hal-hal yang bermanfaat dan mendukung usaha kita menciptakan prestasi mengagumkan. Sementara bila kita perhatikan, keberhasilan Phelps tak lepas dari orang-orang di sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang mendukung cita-cita Phelps tercapai, diantaranya adalah para ahli fisika yang mendesainkan pakaian renang ‘hiu’ untuknya. Diyakini bahwa pakaian renang tersebut memudahkan Phelps mengarungi air dan menambah kecepatan renangnya sampai 4%. Para ahli fisika itu adalah orang-orang penting di balik keberhasilan Phelps menciptakan rekor cemerlang di pesta olah raga akbar tersebut. Diantara orang-orang yang mematahkan semangat juang tentu masih ada orang-orang yang menyediakan dukungan dan membantu kita meraih keberhasilan. Berusahalah untuk membina hubungan yang baik dengan mereka. Karena peran mereka pasti sangat penting dalam membantu kita meraih keberhasilan. Sedikit kisah tentang Phelps telah menginspirasi begitu banyak hal yang dapat membantu kita mencapai keberhasilan di bidang yang kita inginkan. Seandainya kita mencermati, masing-masing diantara kita mempunyai semua kekuatan tersebut. Satu-satunya yang kita butuhkan lagi hanyalah keberanian untuk segera melangkah menciptakan keajaiban yang kita harapkan. *Andrew Ho adalah seorang pengusaha, motivator, dan penulis buku-buku best seller.Kunjungi websitenya di : www.andrewho-uol.com
Kamis, 12 Juni 2008
MAHASISWA DAN TULISANNYA
Budaya menulis menjadi “barang langka” di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk di kalangan pendidikan. Menulis merupakan suatu hal mengerikan bagi sebagian orang, sehingga mereka berusaha menjauhi dan menghindarinya.
Mahasiswa sekarang sangat jarang sekali yang memiliki minat untuk menulis. Hal ini tidaklah mengherankan, sebab jangankan untuk menulis, untuk membaca saja sulitnya minta ampun. Orang lebih senang menonton atau mendengarkan, ketimbang harus membaca apalagi menulis. Sehingga tak mengherankan apabila kondisi seperti ini dibiarkan terus-menerus akan membuat bodoh mahasiswa itu sendiri. Sebenarnya, dengan membiasakan diri untuk menulis, secara tidak langsung membantu mahasiswa itu sendiri untuk membiasakan diri juga dalam membaca. Sebagaimana kewajibannya sebagai mahasiswa yang setiap hari berkutat dengan buku. Membaca, membaca dan membaca merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang mahasiswa.
Mahasiswa, sebagai seorang inteletual, bisa menuangkan hasil yang dia peroleh sehabis membaca dan meneliti ke dalam sebuah tulisan. Sehingga ide-ide dan usulan-usulan yang ada dalam benaknya bisa diketahui banyak orang. Dan bisa berguna bagi ilmu pegetahuan.
Permasalahannya, kebanyakan mahasiswa enggan menuliskannya, sehingga ide-ide orisinil yang seharusnya bisa dikembangkan dan bermanfaat, malah sia-sia terbuang percuma. Ada tiga hal yang dapat merangsang mahasiswa untuk menulis:
Pertama, para dosen memaksa mahasiswa untuk menulis melalui tugas pembuatan paper atau makalah. Karena merupakan salah satu syarat kelulusan, maka mau tidak mau mahasiswa akan menulis. Tentunya sebelum itu dengan membaca berbagai buku dan sumber lainnya terlebih dahulu.
Kedua, mengubah konsep bahwa menulis itu susah dan hanya diperuntukkan bagi mereka yang punya bakat menulis saja. Berikan pandangan bahwa menulis itu mudah, semudah mengungkapkan perasaan hati ke dalam tulisan. Jika demikian, siapapun bisa saja menjadi penulis, asalkan ada kemauan dan kerja keras. Kemauan inilah yang menghantarkan seseorang untuk bisa menjadi penulis yang berbobot dan profesional.
Ketiga, dengan memberikan dorongan berupa reward atau penghargaan. Setiap hasil karya tulis mahasiswa akan dipajang di mading. Bila ada perlombaan menulis, maka setiap mahasiswa didorong untuk mengikuti. Dan bagi mahasiswa yang artikel tulisannya telah dimuat di surat kabar atau berhasil membuat sebuah buku, maka akan diberikan sertifikat dan diumumkan pada pertemuan khusus antara pihak sekolah dan mahasiswa. Selain itu, tulisan yang dimuatpun tentunya akan mendapatkan honor atau royalti.
Dengan adanya rangsangan ini niscara mahasiswa akan tertarik dan tertantang. Sehingga generasi mahasiswa sekarang setingkat lebih maju dengan membiasakan mereka untuk menulis. (Tony Tedjo)
Mahasiswa sekarang sangat jarang sekali yang memiliki minat untuk menulis. Hal ini tidaklah mengherankan, sebab jangankan untuk menulis, untuk membaca saja sulitnya minta ampun. Orang lebih senang menonton atau mendengarkan, ketimbang harus membaca apalagi menulis. Sehingga tak mengherankan apabila kondisi seperti ini dibiarkan terus-menerus akan membuat bodoh mahasiswa itu sendiri. Sebenarnya, dengan membiasakan diri untuk menulis, secara tidak langsung membantu mahasiswa itu sendiri untuk membiasakan diri juga dalam membaca. Sebagaimana kewajibannya sebagai mahasiswa yang setiap hari berkutat dengan buku. Membaca, membaca dan membaca merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang mahasiswa.
Mahasiswa, sebagai seorang inteletual, bisa menuangkan hasil yang dia peroleh sehabis membaca dan meneliti ke dalam sebuah tulisan. Sehingga ide-ide dan usulan-usulan yang ada dalam benaknya bisa diketahui banyak orang. Dan bisa berguna bagi ilmu pegetahuan.
Permasalahannya, kebanyakan mahasiswa enggan menuliskannya, sehingga ide-ide orisinil yang seharusnya bisa dikembangkan dan bermanfaat, malah sia-sia terbuang percuma. Ada tiga hal yang dapat merangsang mahasiswa untuk menulis:
Pertama, para dosen memaksa mahasiswa untuk menulis melalui tugas pembuatan paper atau makalah. Karena merupakan salah satu syarat kelulusan, maka mau tidak mau mahasiswa akan menulis. Tentunya sebelum itu dengan membaca berbagai buku dan sumber lainnya terlebih dahulu.
Kedua, mengubah konsep bahwa menulis itu susah dan hanya diperuntukkan bagi mereka yang punya bakat menulis saja. Berikan pandangan bahwa menulis itu mudah, semudah mengungkapkan perasaan hati ke dalam tulisan. Jika demikian, siapapun bisa saja menjadi penulis, asalkan ada kemauan dan kerja keras. Kemauan inilah yang menghantarkan seseorang untuk bisa menjadi penulis yang berbobot dan profesional.
Ketiga, dengan memberikan dorongan berupa reward atau penghargaan. Setiap hasil karya tulis mahasiswa akan dipajang di mading. Bila ada perlombaan menulis, maka setiap mahasiswa didorong untuk mengikuti. Dan bagi mahasiswa yang artikel tulisannya telah dimuat di surat kabar atau berhasil membuat sebuah buku, maka akan diberikan sertifikat dan diumumkan pada pertemuan khusus antara pihak sekolah dan mahasiswa. Selain itu, tulisan yang dimuatpun tentunya akan mendapatkan honor atau royalti.
Dengan adanya rangsangan ini niscara mahasiswa akan tertarik dan tertantang. Sehingga generasi mahasiswa sekarang setingkat lebih maju dengan membiasakan mereka untuk menulis. (Tony Tedjo)
Kamis, 22 Mei 2008
MERUMUSKAN SEBELUM MENULIS
Sebelum menuangkan isi hati seorang penulis ke dalam sebuah tulisan, maka perlu dirumuskan terlebih dahulu hal-hal apa saja yang akan dituliskan. Semua data-data yang bersangkutan dengan tulisan yang akan dibuat dikumpulkan terlebih dahulu. Kemudian buatlah kerangka tulisan yang akan ditulis atau garis besarnya terlebih dahulu. Sertai tujuan dari membuat tulisan tersebut. Setelah semua siap, barulah menulis.
Tindakan menulis merupakan disiplin yang luhur dan menuntut kesabaran, ketabahan, serta tekad, dan usaha yang menuntut setiap penulis untuk menuliskan kembali cerita yang sudah selesai sampai berkali-kali. Hingga tulisan tersebut benar-benar baik. Dalam proses ini, ada keterkaitan antara membaca dan menulis. Kegiatan antara membaca dan menulis berjalan beriringan. Jika hendak belajar menulis dengan baik, bacalah tulisan-tulisan orang yang dapat menulis dengan baik pula. Bacalah hasil karya mereka dan temukan kerangka berpikirnya. Hal ini merupakan latihan untuk mempertajam dan mengembangkan kerangka berpikir kita, sehingga menjadi lebih tajam dan kreatif.
Dalam merumuskan sebuah tulisan, perlu diperhatikan untuk menulis satu atau dua halaman, baru disusul tulisan yang lain. Sesudah itu, kembangkan pemahaman secara menyeluruh dengan memperhatikan hal di bawah ini:
a. Menjawab pertanyaan pembaca
b. Menuliskan maksud penulis (mulai dengan definisi ringkas dari tujuan tulisan kita)
c. Visualisasikan (uraikan apa yang dilihat dengan menggambarkannya pada pikiran)
d. Menentukan batas waktu (mempersiapkan diri untuk menulis 15 menit tanpa henti. Jangan ragu-ragu sampai batas waktu yang ditentukan berakhir)
Untuk menjadi seorang penulis yang produktif diperlukan kerja keras dan ketekunan. Peenulis-penulis yang sukses adalah mereka yang secara tekun meluangkan waktunya untuk menulis, menjauhkan diri dari gangguan-gangguan kehidupan. Hal ini berarti dituntut adanya komitmen yang teratur dan terencana atas diri si penulis. Standardnya adalah dibutuhkan hasil, minimal setiap duduk ada sesuatu yang ditulis: satu kalimat cukup! Satu alinea lebih baik. Satu halaman berarti prestasi yang sangat baik. Lihatlah dengan cara ini, jika kita dapat menulis walaupun satu halaman saja dalam sehari, dalam satu tahun kita telah menuliskan 365 halaman, berarti bila dikumpulkan menjadi satu bisa menjadi sebuah buku buku yang indah dan besar. Ini adalah hasil karya anda. Akan tetapi persoalannya bukanlah berapa banyak yang ditulis setiap anda duduk, namun yang lebih bermakna dan terpenting adalah adanya kesabaran anda menambahkan sesuatu, atau bahkan menambahkan sebuah kata dalam cerita anda dan melakukannya kembali, dan menuliskan kembali sehingga semuanya selesai.
Tulisan yang terbaik sifatnya sederhana, jujur, dan langsung pada sasaran. Anda tidak perlu membayangkan diri anda seperti seorang penyair yang mengandalkan sedikit kata-kata yang berbunga-bunga. Ketika anda menceritakan sebuah kisah, cara terbaik untuk mengungkapkannya adalah hanya memberitahu orang lain, apa yang telah terjadi dan anda alami. Rakitlah kata-kata anda sehingga pembaca dengan cepat dapat memahaminya. Tulislah seolah-olah anda ingin berbicara, menceritakan serpihan-serpihan cerita. Jangan mengatakannya secara berulang-ulang atau mencoba seperti melawak. Buatlah satu pemikiran yang mengarah kepada pemikiran berikutnya. Jangan ragu-ragu untuk melakukan editing (menyunting), mencoret, menuliskannya kembali, dan mempertimbangkan kata-kata anda, sehingga cocok dengan kisah yang anda ceritakan.
Buatlah gambaran saat anda menulis. Buatlah kata-kata yang anda tulis menjadi semacam potret. Bayangkan sebuah peristiwa masa lalu anda, benar-benar memberikan sebuah imajinasi mental. Dengarkanlah apa yang dikatakan karakter-karakter itu. Ciumlah aromanya, dengarkan suara-suara dari peristiwa yang anda ingat itu. Sekarang tuliskanlah peristiwa itu sebagai citra gambar yang hidup dan yang akan anda sajikan kepada pembaca.
Tulislah seolah-olah hidup anda bergantung pada tulisan tersebut. Kehidupan anda mungkin tidak akan berubah satu partikel pun, sekalipun anda menulis atau tidak menuliskannya, tetapi orang lain yang membaca tulisan anda akan menilai kehidupan anda berdasarkan sejauh mana anda menulis ceritanya dengan baik. Kembangkanlah harga diri, kegembiraan, dan usaha untuk menuliskannya dengan hati-hati. Jangan habiskan waktu dengan perasaan kuatir mengenai apakah dapat melakukannya. Teruskan saja dan coba lagi.
Tulisan yang efektif adalah tulisan yang tepat-guna. Artinya tulisan itu harus dapat memenuhi kebutuhan pembacanya sekaligus memberikan informasi yang baru kepada pembacanya. Penulis menimbang kata yang digunakannya sesuai dengan kodratnya, memadukannya secara ekspresif. Penulis yang malas hanya menggunakan kata-kata yang klise, dengan harapan pembaca dapat langsung mengerti. Ia mengira bahwa kata-kata yang sudah lazim didengar dan diketahui oleh masyarakat akan segera memikat perhatian pembaca dan mereka pun memperoleh pemahaman.
Geraldine Henze, pengajar komunikasi di Sekolah Bisnis, Universitas California berkata: “Menulis merupakan suatu sarana untuk melakukan dua kemungkinan: Pertama: untuk menyusun pemikiran. Kedua, untuk berkomunikasi.”
Penulis yang malas akan menghasilkan tulisan yang tidak komunikatif. Sebagai seorang penulis, dia harus bergumul setiap hari dengan kata-kata dan memilih kata spesifik yang mampu memberi warna dalam tulisannya. Seorang penulis harus jujur kepada dirinya sendiri. Ia mencari ungkapan-ungkapan yang otentik dengan kata yang bervariasi, bukan dengan kata-kata klise atau berbunga-bunga. Dengan demikian berarti penulis harus memiliki kata-kata sendiri, yang khas dengan dirinya dalam berekspresi, sehingga kata-katanya menjadi kuat. (By: Tony Tedjo)
Tindakan menulis merupakan disiplin yang luhur dan menuntut kesabaran, ketabahan, serta tekad, dan usaha yang menuntut setiap penulis untuk menuliskan kembali cerita yang sudah selesai sampai berkali-kali. Hingga tulisan tersebut benar-benar baik. Dalam proses ini, ada keterkaitan antara membaca dan menulis. Kegiatan antara membaca dan menulis berjalan beriringan. Jika hendak belajar menulis dengan baik, bacalah tulisan-tulisan orang yang dapat menulis dengan baik pula. Bacalah hasil karya mereka dan temukan kerangka berpikirnya. Hal ini merupakan latihan untuk mempertajam dan mengembangkan kerangka berpikir kita, sehingga menjadi lebih tajam dan kreatif.
Dalam merumuskan sebuah tulisan, perlu diperhatikan untuk menulis satu atau dua halaman, baru disusul tulisan yang lain. Sesudah itu, kembangkan pemahaman secara menyeluruh dengan memperhatikan hal di bawah ini:
a. Menjawab pertanyaan pembaca
b. Menuliskan maksud penulis (mulai dengan definisi ringkas dari tujuan tulisan kita)
c. Visualisasikan (uraikan apa yang dilihat dengan menggambarkannya pada pikiran)
d. Menentukan batas waktu (mempersiapkan diri untuk menulis 15 menit tanpa henti. Jangan ragu-ragu sampai batas waktu yang ditentukan berakhir)
Untuk menjadi seorang penulis yang produktif diperlukan kerja keras dan ketekunan. Peenulis-penulis yang sukses adalah mereka yang secara tekun meluangkan waktunya untuk menulis, menjauhkan diri dari gangguan-gangguan kehidupan. Hal ini berarti dituntut adanya komitmen yang teratur dan terencana atas diri si penulis. Standardnya adalah dibutuhkan hasil, minimal setiap duduk ada sesuatu yang ditulis: satu kalimat cukup! Satu alinea lebih baik. Satu halaman berarti prestasi yang sangat baik. Lihatlah dengan cara ini, jika kita dapat menulis walaupun satu halaman saja dalam sehari, dalam satu tahun kita telah menuliskan 365 halaman, berarti bila dikumpulkan menjadi satu bisa menjadi sebuah buku buku yang indah dan besar. Ini adalah hasil karya anda. Akan tetapi persoalannya bukanlah berapa banyak yang ditulis setiap anda duduk, namun yang lebih bermakna dan terpenting adalah adanya kesabaran anda menambahkan sesuatu, atau bahkan menambahkan sebuah kata dalam cerita anda dan melakukannya kembali, dan menuliskan kembali sehingga semuanya selesai.
Tulisan yang terbaik sifatnya sederhana, jujur, dan langsung pada sasaran. Anda tidak perlu membayangkan diri anda seperti seorang penyair yang mengandalkan sedikit kata-kata yang berbunga-bunga. Ketika anda menceritakan sebuah kisah, cara terbaik untuk mengungkapkannya adalah hanya memberitahu orang lain, apa yang telah terjadi dan anda alami. Rakitlah kata-kata anda sehingga pembaca dengan cepat dapat memahaminya. Tulislah seolah-olah anda ingin berbicara, menceritakan serpihan-serpihan cerita. Jangan mengatakannya secara berulang-ulang atau mencoba seperti melawak. Buatlah satu pemikiran yang mengarah kepada pemikiran berikutnya. Jangan ragu-ragu untuk melakukan editing (menyunting), mencoret, menuliskannya kembali, dan mempertimbangkan kata-kata anda, sehingga cocok dengan kisah yang anda ceritakan.
Buatlah gambaran saat anda menulis. Buatlah kata-kata yang anda tulis menjadi semacam potret. Bayangkan sebuah peristiwa masa lalu anda, benar-benar memberikan sebuah imajinasi mental. Dengarkanlah apa yang dikatakan karakter-karakter itu. Ciumlah aromanya, dengarkan suara-suara dari peristiwa yang anda ingat itu. Sekarang tuliskanlah peristiwa itu sebagai citra gambar yang hidup dan yang akan anda sajikan kepada pembaca.
Tulislah seolah-olah hidup anda bergantung pada tulisan tersebut. Kehidupan anda mungkin tidak akan berubah satu partikel pun, sekalipun anda menulis atau tidak menuliskannya, tetapi orang lain yang membaca tulisan anda akan menilai kehidupan anda berdasarkan sejauh mana anda menulis ceritanya dengan baik. Kembangkanlah harga diri, kegembiraan, dan usaha untuk menuliskannya dengan hati-hati. Jangan habiskan waktu dengan perasaan kuatir mengenai apakah dapat melakukannya. Teruskan saja dan coba lagi.
Tulisan yang efektif adalah tulisan yang tepat-guna. Artinya tulisan itu harus dapat memenuhi kebutuhan pembacanya sekaligus memberikan informasi yang baru kepada pembacanya. Penulis menimbang kata yang digunakannya sesuai dengan kodratnya, memadukannya secara ekspresif. Penulis yang malas hanya menggunakan kata-kata yang klise, dengan harapan pembaca dapat langsung mengerti. Ia mengira bahwa kata-kata yang sudah lazim didengar dan diketahui oleh masyarakat akan segera memikat perhatian pembaca dan mereka pun memperoleh pemahaman.
Geraldine Henze, pengajar komunikasi di Sekolah Bisnis, Universitas California berkata: “Menulis merupakan suatu sarana untuk melakukan dua kemungkinan: Pertama: untuk menyusun pemikiran. Kedua, untuk berkomunikasi.”
Penulis yang malas akan menghasilkan tulisan yang tidak komunikatif. Sebagai seorang penulis, dia harus bergumul setiap hari dengan kata-kata dan memilih kata spesifik yang mampu memberi warna dalam tulisannya. Seorang penulis harus jujur kepada dirinya sendiri. Ia mencari ungkapan-ungkapan yang otentik dengan kata yang bervariasi, bukan dengan kata-kata klise atau berbunga-bunga. Dengan demikian berarti penulis harus memiliki kata-kata sendiri, yang khas dengan dirinya dalam berekspresi, sehingga kata-katanya menjadi kuat. (By: Tony Tedjo)
Rabu, 14 Mei 2008
KOMUNITAS PENULIS ROHANI
Syalom, kami mengundang kepada Anda yang hobi menulis atau yang berminat menjadi penulis, untuk bergabung dengan kami dalam Komunitas Penulis Rohani (KPR). KPR didirikan tgl. 4 Agustus 2008 oleh pendirinya Tony Tedjo di Bandung. Saat ini yang sudah bergabung menjadi anggota sudah 40 orang, dari berbagai kota seperti Bandung, Cimahi, Subang, Jakarta. Tgl. 24 November 2008 nanti akan diadakan pemilihan Ketua dan koordinator untuk masing-masing kota.
Yang menjadi anggota KPR tidak terbatas hanya bagi orang Bandung (Jawa), kami rindu juga anak-anak Tuhan lain yang berada di luar Jawa maupun di luar negeri yang terbeban untuk melayani dalam penulisan agar mendaftarkan diri menjadi anggota. Untuk menjadi peserta Anda hanya membayar Rp20000 (untuk 1 tahun), menyerahkan pas foto 3x4 3 bh, dan fotocopy KTP yang masih berlaku. Nikmati layanan diskon di 4000 merchand di 4 kota (Bandung, Jakarta, Surabaya, Semarang) yang bekerjasama dengan EC (Educational Card). Dan juga Anda bisa membeli buku-buku terbitan AGAPE dengan diskon 30%.
Untuk informasi dan pendaftaran hubungi 081394401799; 08818223608 atau 08888255416. Email: tony_kharis@yahoo.com atau anggi_1234@plasa.com. Kunjungi juga http://www.agapemedia.blogspot.com/
Salam kegerakan penulis
Tony Tedjo
Selasa, 06 Mei 2008
SOW (School of Writing)
Sekolah Menulis dengan Sentuhan Alkitabiah
Sekilas Pandang
Sow dalam bahasa Inggris artinya adalah menaburkan, dalam hal ini menaburkan benih. Benih-benih ditaburkan dengan harapan agar dikemudian hari benih-benih yang sudah ditaburkan itu bisa dituai. Tentunya hasil yang diharapkan adalah agar semua benih yang ditaburkan itu bisa bertumbuh dan pada akhirnya berbuah.
Atas dasar ini, kami membentuk SOW, sekolah menulis dengan sentuhan alkitabiah. Melalui materi-materi mengenai kepenulisan yang diajarkan di sekolah, diharapkan agar di kemudian hari bisa bermunculan para penulis rohani yang menghasilkan tulisan-tulisan yang bermutu dan berbobot dengan nilai-nilai alkitabiah. Para penulis ini diharapkan mampu mengabarkan nilai-nilai kekekalan yang bersumber dari Alkitab untuk dibagikan kepada orang lain, khususnya dunia. Sehingga ada banyak orang yang dimenangkan bagi kemuliaan nama Tuhan Yesus.
Salam dahsyat penulis
Sekilas Pandang
Sow dalam bahasa Inggris artinya adalah menaburkan, dalam hal ini menaburkan benih. Benih-benih ditaburkan dengan harapan agar dikemudian hari benih-benih yang sudah ditaburkan itu bisa dituai. Tentunya hasil yang diharapkan adalah agar semua benih yang ditaburkan itu bisa bertumbuh dan pada akhirnya berbuah.
Atas dasar ini, kami membentuk SOW, sekolah menulis dengan sentuhan alkitabiah. Melalui materi-materi mengenai kepenulisan yang diajarkan di sekolah, diharapkan agar di kemudian hari bisa bermunculan para penulis rohani yang menghasilkan tulisan-tulisan yang bermutu dan berbobot dengan nilai-nilai alkitabiah. Para penulis ini diharapkan mampu mengabarkan nilai-nilai kekekalan yang bersumber dari Alkitab untuk dibagikan kepada orang lain, khususnya dunia. Sehingga ada banyak orang yang dimenangkan bagi kemuliaan nama Tuhan Yesus.
Salam dahsyat penulis
Visi dan Misi
Untuk membangun para penulis dengan sentuhan alkitabiah dan penerbit buku rohani sebagai sarana membagikan Kabar Baik bagi semua orang.
Motto
Mencerdaskan, Memberkati, Menjangkau
Untuk membangun para penulis dengan sentuhan alkitabiah dan penerbit buku rohani sebagai sarana membagikan Kabar Baik bagi semua orang.
Motto
Mencerdaskan, Memberkati, Menjangkau
Materi Belajar
Menulis Renungan Harian
Menulis di Majalah
Menulis Biografi dan Autobiografi
Menulis Cerpen dan Novel
Menulis Buku
Manajemen Penerbitan
Editing
Menulis Renungan Harian
Menulis di Majalah
Menulis Biografi dan Autobiografi
Menulis Cerpen dan Novel
Menulis Buku
Manajemen Penerbitan
Editing
Wawancara
Angkatan ke-2 akan dibuka Februari 2009
Februari-Maret 2009
Pengajar
Tony Tedjo, M.Th
Sostenis Ngebu, MA
Gangga Eltho, M.Div
Heru Winoto, S.Th
Agus Nugroho, S.Th
Johny Tedjo, S.Th
Wilfrid Johannsen
Sostenis Ngebu, MA
Gangga Eltho, M.Div
Heru Winoto, S.Th
Agus Nugroho, S.Th
Johny Tedjo, S.Th
Wilfrid Johannsen
Informasi dan pendaftaran: 02291898699; 08888255416 atau 081394401799
tony_kharis@yahoo.com; anggi_1234@plasa.com; www.agapemedia.blogspot.com
5 KEBIASAAN PRODUKTIF PENULIS BESTSELLER
Beberapa hari lalu, seorang sahabat penulis mengirimkan SMS kepada saya. Bunyinya demikian, “Selamat siang Mas Edy. Saya mau membentuk kebiasaan menulis. Boleh tahu lima kebiasaan Mas Edy yang dirasakan efektif mendukung menjadi seorang penulis produktif bestseller? Terima kasih.”
SMS tersebut menggelitik saya untuk menuliskan artikel ini. Sebenarnya, saya sendiri tidak sepenuhnya yakin, apakah saya sungguh-sungguh memiliki kebiasaan-kebiasaan yang dia maksud. Tetapi, kalau boleh bercerita di sini, saya memang memiliki sejumlah kebiasaan dalam proses kreatif penulisan. Sebagian di antaranya memang benar-benar sudah jadi kebiasaan saya saban hari, sementara yang lain merupakan proses yang tampaknya menuju ke arah terciptanya kebiasaan baru.
Nah, mungkin saja kebiasaan-kebiasaan itulah yang membuka peluang saya untuk tetap produktif menulis. Mungkin pula, kebiasaan-kebiasaan itulah yang—langsung atau tidak langsung—ikut berpengaruh dan menjadikan buku-buku saya bestseller. Apa saja kebiasaan tersebut? Ini dia ceritanya.
Pertama, saya selalu menyukai tema-tema tulisan yang saya prediksi bakal menarik minat serta sungguh-sungguh bermanfaat bagi saya sendiri maupun pembaca. Saya pun selalu membaca tulisan-tulisan—yang menurut saya sendiri—sangat menarik perhatian saya. Nah, kebiasaan untuk selalu intens dengan hal-hal menarik dan bermanfaat inilah yang kemudian mendorong saya untuk terus berusaha menulis tema-tema pilihan.
Contoh, ketika saya melihat dan mendengar bahwa tema-tema wirausaha begitu digemari oleh masyarakat, saya pun mencoba mempelajari dengan detail dan berusaha menuliskannya. Tulisan semula hanya berwujud rajutan kiat-kiat berwirausaha, dan di lain waktu saya kembangkan menjadi tulisan yang lebih lengkap. Ketika dikompilasi, hasilnya adalah buku laris Resep Cespleng Berwirausaha (Gradien, 2004). Pola ini juga terjadi pada kasus artikel-artikel atau buku-buku saya lainnya.
Kedua, saya selalu mencatat setiap ide tulisan di sebuah “buku bank ide” dalam bentuk judul. Mengapa dalam bentuk judul? Sebab, inilah kebiasaan saya untuk memampatkan atau mengkristalkan gagasan-gagasan—yang mungkin saja panjang lebar—ke dalam bentuk yang simpel, mudah diingat, dan yang terpenting memotivasi/memprovokasi saya untuk mengelaborasinya menjadi naskah buku.
Minimal, ide-ide dalam bentuk judul itu sudah menggambarkan adanya tabungan ide kreatif saya. Makanya, dalam beberapa kesempatan saya sampaikan bahwa saya sampai memiliki lebih dari 700 judul tema buku atau artikel. Namun, yang tak kalah penting adalah tindak lanjut atau kreasi berikutnya atas bank ide tersebut. Dan ternyata, saya sangat terbantu oleh bank ide tersebut dalam setiap proses penulisan dan penyuntingan. Baik untuk keperluan pribadi, penerbitan, maupun saat menangani klien-klien saya.
Ketiga, saya menjadikan aktivitas menulis sebagai sebuah kesenangan yang menantang. Apa kesenangannya dan apa pula tantangannya? Kesenangannya adalah bahwa saya bisa menjadikan aktivitas menulis sebagai sesuatu yang memberikan dampak finansial. Saya teramat sadar dan meyakini bahwa seorang penulis dapat hidup layak dari pekerjaan atau profesinya sebagai penulis. Asalakan, dia mampu memanfaatkan kemampuan menulis itu dengan baik.
Aktivitas menulis menjadi begitu menyenangkan bagi saya karena bisa memberikan penghasilan dalam bentuk honor, professional fee, maupun royalti. Dengan kemampuan menulis yang baik (termasuk di dalamnya kemampuan editing), membuat hari-hari saya dipenuhi oleh pekerjaan yang berkutat pada soal tulis-menulis dan penerbitan. Tapi yang tak kalah penting, aktivitas ini memberikan sumber penghidupan yang amat memadai.
Tantangannya, saya selalu terdorong untuk menghasilkan karya yang lebih baik, lebih banyak lagi, serta lebih diterima oleh para pembaca. Tantangan ini membuat saya tidak mau berhenti belajar untuk terus meningkatkan kemampuan menulis. Saya bahkan belajar kepada klien-klien yang saya tangani, yang notabene banyak di antaranya yang baru pertama kali belajar menulis. Setiap pengalaman, peristiwa, atau situasi yang berbeda bisa menjadi inspirasi yang kaya bagi dunia kepenulisan saya maupun proses pengembangan diri saya sendiri.
Keempat, saya menjadikan aktivitas menulis sebagai salah satu komponen utama dalam proses pengembangan diri saya. Aktivitas menulis tidak akan lepas dari proses belajar. Dan, belajar adalah intisari proses pengembangan diri. Maka, jika kita belajar atau sedang menulis, maka sesungguhnya kita sedang mengembangkan atau mengaktualisasikan potensi-potensi dalam diri kita, supaya kemudian ada progress dalam kehidupan kita.
Saya temukan bahwa ketika kita menulis, sejatinya—dalam bahasa Stephen R. Covey—kita sedang mengembangkan realitas kita. Dalam menulis pula, sejatinya—dalam bahasa Wallace D. Wattles—kita sedang menjadikan ide mewujud menjadi peristiwa, realitas, atau materi. Makanya, memupuk kebiasaan menulis, dalam pandangan saya, sama saja artinya untuk membuktikan kebenaran teori-teori para penulis-motivator legendaris tersebut.
Hari demi hari saya semakin yakin bahwa menulis merupakan instrumen pengembangan diri yang luar biasa. Sebab, saya alami sendiri, saya temukan, dan saya ikut bersinggungan langsung dalam serangkaian proses perubahan hidup sejumlah orang yang kemudian menjadi penulis. Makanya tidak ada keraguan lagi, manakala kita mulai membiasakan diri untuk menulis, maka satu pintu perubahan hidup sudah ada di depan kita.
Kelima, saya selalu berusaha memublikasikan tulisan-tulisan yang sudah saya selesaikan. Bagi saya, menulis itu ada misinya tersendiri, yaitu untuk menanamkan pengaruh tertentu kepada pembaca. Sementara, hanya tulisan yang “hidup” saja yang bisa mempengaruhi orang. Namun, tulisan baru “hidup” atau “punya nyawa” jika sudah dibaca oleh orang lain. Nah, untuk menghidupkan tulisan atau memberinya nyawa, jalan satu-satunya adalah dengan memublikasikan tulisan tersebut.
Waktu SD dulu, “media” saya untuk memublikasikan tulisan saya adalah buku tulis bergaris, dan pembacanya adalah keluarga sendiri atau teman-teman sekelas. Waktu SMP, pantun saya pernah dimuat di koran mingguan Sinar Pagi Minggu (sehingga “mempengaruhi” seorang mahasiswa untuk berkorespondensi dengan saya he he he...). Waktu SMA, mading (majalah dinding) adalah media ekspresi saya.
Saat kuliah di Yogyakarta, saya mulai dari memublikasikan tulisan di majalah kampus Balairung, surat pembaca di majalah Tempo, sampai kemudian mampu merambah media massa seperti Kedaulatan Rakyat dan Bernas. Ketika menjadi wartawan, saya sudah tidak lagi dipusingkan dengan urusan mencari wadah untuk publikasi tulisan-tulisan saya.
Kini, saat saya menjalankan profesi sebagai editor, penerbit, dan penulis buku, ruang untuk menghidupkan tulisan itu terasa berlimpah. Tapi, saya pikir saat ini semua penulis atau siapa pun yang baru belajar menulis, sesungguhnya mempunyai ruang berlimpah untuk memublikasikan tulisannya. Kita bisa lirik mailing list, blog, maupun website umum yang relevan serta memang mau menampilkan tulisan kita.
Prinsip yang saya tekankan kepada semua penulis, yang terpenting adalah jangan sampai menjadikan tulisan kita seperti “mumi”. Tulisan yang diperlakukan seperti “mumi” ini—yang dibungkus, disimpan rapi, atau malah disembunyikan—tidak akan pernah “hidup” dan memberikan pengaruh. Jadi, beri nyawa pada tulisan kita dengan memublikasikannya.
Apakah hanya lima kebiasaan ini saja? Ya, karena diminta lima kebiasaan, jadi yang saya tulis ya lima saja he he he... Mungkin ada yang lain, tapi saya belum terpikir sama sekali atau malah tidak menemukannya. Yang pasti, hampir semua penulis sukses memiliki kebiasaan yang umum alias standar, tapi ada juga kebiasaan-kebiasaan yang unik atau khas. Namun, semuanya bermuara pada hasil atau prestasi yang mereka raih.
Bagi sahabat saya yang menanyakan soal kebiasaan-kebiasaan menulis saya ini, saya tekankan bahwa yang terbaik adalah menemukan dan menumbuhkan kebiasaan sendiri. Artinya, boleh saja kita berkaca pada sekian banyak kebiasaan penulis sukses. Tapi, itu semua hanya “makanan tambahan” alias inspirasi saja bagi proses kreatif kita. Jadi, kalau bermaanfaat, ya ambil, kalau malah jadi beban, ya tinggal saja. Sebab, yang lebih penting adalah menemukan kebiasaan sendiri, yang paling efektif dan paling disukai. Karena, muara kita tetap pada produktivitas dan kualitas karya. Selamat menumbuhkan kebiasaan menulis yang terbaik. Dan, salam bestseller.[ez]
SMS tersebut menggelitik saya untuk menuliskan artikel ini. Sebenarnya, saya sendiri tidak sepenuhnya yakin, apakah saya sungguh-sungguh memiliki kebiasaan-kebiasaan yang dia maksud. Tetapi, kalau boleh bercerita di sini, saya memang memiliki sejumlah kebiasaan dalam proses kreatif penulisan. Sebagian di antaranya memang benar-benar sudah jadi kebiasaan saya saban hari, sementara yang lain merupakan proses yang tampaknya menuju ke arah terciptanya kebiasaan baru.
Nah, mungkin saja kebiasaan-kebiasaan itulah yang membuka peluang saya untuk tetap produktif menulis. Mungkin pula, kebiasaan-kebiasaan itulah yang—langsung atau tidak langsung—ikut berpengaruh dan menjadikan buku-buku saya bestseller. Apa saja kebiasaan tersebut? Ini dia ceritanya.
Pertama, saya selalu menyukai tema-tema tulisan yang saya prediksi bakal menarik minat serta sungguh-sungguh bermanfaat bagi saya sendiri maupun pembaca. Saya pun selalu membaca tulisan-tulisan—yang menurut saya sendiri—sangat menarik perhatian saya. Nah, kebiasaan untuk selalu intens dengan hal-hal menarik dan bermanfaat inilah yang kemudian mendorong saya untuk terus berusaha menulis tema-tema pilihan.
Contoh, ketika saya melihat dan mendengar bahwa tema-tema wirausaha begitu digemari oleh masyarakat, saya pun mencoba mempelajari dengan detail dan berusaha menuliskannya. Tulisan semula hanya berwujud rajutan kiat-kiat berwirausaha, dan di lain waktu saya kembangkan menjadi tulisan yang lebih lengkap. Ketika dikompilasi, hasilnya adalah buku laris Resep Cespleng Berwirausaha (Gradien, 2004). Pola ini juga terjadi pada kasus artikel-artikel atau buku-buku saya lainnya.
Kedua, saya selalu mencatat setiap ide tulisan di sebuah “buku bank ide” dalam bentuk judul. Mengapa dalam bentuk judul? Sebab, inilah kebiasaan saya untuk memampatkan atau mengkristalkan gagasan-gagasan—yang mungkin saja panjang lebar—ke dalam bentuk yang simpel, mudah diingat, dan yang terpenting memotivasi/memprovokasi saya untuk mengelaborasinya menjadi naskah buku.
Minimal, ide-ide dalam bentuk judul itu sudah menggambarkan adanya tabungan ide kreatif saya. Makanya, dalam beberapa kesempatan saya sampaikan bahwa saya sampai memiliki lebih dari 700 judul tema buku atau artikel. Namun, yang tak kalah penting adalah tindak lanjut atau kreasi berikutnya atas bank ide tersebut. Dan ternyata, saya sangat terbantu oleh bank ide tersebut dalam setiap proses penulisan dan penyuntingan. Baik untuk keperluan pribadi, penerbitan, maupun saat menangani klien-klien saya.
Ketiga, saya menjadikan aktivitas menulis sebagai sebuah kesenangan yang menantang. Apa kesenangannya dan apa pula tantangannya? Kesenangannya adalah bahwa saya bisa menjadikan aktivitas menulis sebagai sesuatu yang memberikan dampak finansial. Saya teramat sadar dan meyakini bahwa seorang penulis dapat hidup layak dari pekerjaan atau profesinya sebagai penulis. Asalakan, dia mampu memanfaatkan kemampuan menulis itu dengan baik.
Aktivitas menulis menjadi begitu menyenangkan bagi saya karena bisa memberikan penghasilan dalam bentuk honor, professional fee, maupun royalti. Dengan kemampuan menulis yang baik (termasuk di dalamnya kemampuan editing), membuat hari-hari saya dipenuhi oleh pekerjaan yang berkutat pada soal tulis-menulis dan penerbitan. Tapi yang tak kalah penting, aktivitas ini memberikan sumber penghidupan yang amat memadai.
Tantangannya, saya selalu terdorong untuk menghasilkan karya yang lebih baik, lebih banyak lagi, serta lebih diterima oleh para pembaca. Tantangan ini membuat saya tidak mau berhenti belajar untuk terus meningkatkan kemampuan menulis. Saya bahkan belajar kepada klien-klien yang saya tangani, yang notabene banyak di antaranya yang baru pertama kali belajar menulis. Setiap pengalaman, peristiwa, atau situasi yang berbeda bisa menjadi inspirasi yang kaya bagi dunia kepenulisan saya maupun proses pengembangan diri saya sendiri.
Keempat, saya menjadikan aktivitas menulis sebagai salah satu komponen utama dalam proses pengembangan diri saya. Aktivitas menulis tidak akan lepas dari proses belajar. Dan, belajar adalah intisari proses pengembangan diri. Maka, jika kita belajar atau sedang menulis, maka sesungguhnya kita sedang mengembangkan atau mengaktualisasikan potensi-potensi dalam diri kita, supaya kemudian ada progress dalam kehidupan kita.
Saya temukan bahwa ketika kita menulis, sejatinya—dalam bahasa Stephen R. Covey—kita sedang mengembangkan realitas kita. Dalam menulis pula, sejatinya—dalam bahasa Wallace D. Wattles—kita sedang menjadikan ide mewujud menjadi peristiwa, realitas, atau materi. Makanya, memupuk kebiasaan menulis, dalam pandangan saya, sama saja artinya untuk membuktikan kebenaran teori-teori para penulis-motivator legendaris tersebut.
Hari demi hari saya semakin yakin bahwa menulis merupakan instrumen pengembangan diri yang luar biasa. Sebab, saya alami sendiri, saya temukan, dan saya ikut bersinggungan langsung dalam serangkaian proses perubahan hidup sejumlah orang yang kemudian menjadi penulis. Makanya tidak ada keraguan lagi, manakala kita mulai membiasakan diri untuk menulis, maka satu pintu perubahan hidup sudah ada di depan kita.
Kelima, saya selalu berusaha memublikasikan tulisan-tulisan yang sudah saya selesaikan. Bagi saya, menulis itu ada misinya tersendiri, yaitu untuk menanamkan pengaruh tertentu kepada pembaca. Sementara, hanya tulisan yang “hidup” saja yang bisa mempengaruhi orang. Namun, tulisan baru “hidup” atau “punya nyawa” jika sudah dibaca oleh orang lain. Nah, untuk menghidupkan tulisan atau memberinya nyawa, jalan satu-satunya adalah dengan memublikasikan tulisan tersebut.
Waktu SD dulu, “media” saya untuk memublikasikan tulisan saya adalah buku tulis bergaris, dan pembacanya adalah keluarga sendiri atau teman-teman sekelas. Waktu SMP, pantun saya pernah dimuat di koran mingguan Sinar Pagi Minggu (sehingga “mempengaruhi” seorang mahasiswa untuk berkorespondensi dengan saya he he he...). Waktu SMA, mading (majalah dinding) adalah media ekspresi saya.
Saat kuliah di Yogyakarta, saya mulai dari memublikasikan tulisan di majalah kampus Balairung, surat pembaca di majalah Tempo, sampai kemudian mampu merambah media massa seperti Kedaulatan Rakyat dan Bernas. Ketika menjadi wartawan, saya sudah tidak lagi dipusingkan dengan urusan mencari wadah untuk publikasi tulisan-tulisan saya.
Kini, saat saya menjalankan profesi sebagai editor, penerbit, dan penulis buku, ruang untuk menghidupkan tulisan itu terasa berlimpah. Tapi, saya pikir saat ini semua penulis atau siapa pun yang baru belajar menulis, sesungguhnya mempunyai ruang berlimpah untuk memublikasikan tulisannya. Kita bisa lirik mailing list, blog, maupun website umum yang relevan serta memang mau menampilkan tulisan kita.
Prinsip yang saya tekankan kepada semua penulis, yang terpenting adalah jangan sampai menjadikan tulisan kita seperti “mumi”. Tulisan yang diperlakukan seperti “mumi” ini—yang dibungkus, disimpan rapi, atau malah disembunyikan—tidak akan pernah “hidup” dan memberikan pengaruh. Jadi, beri nyawa pada tulisan kita dengan memublikasikannya.
Apakah hanya lima kebiasaan ini saja? Ya, karena diminta lima kebiasaan, jadi yang saya tulis ya lima saja he he he... Mungkin ada yang lain, tapi saya belum terpikir sama sekali atau malah tidak menemukannya. Yang pasti, hampir semua penulis sukses memiliki kebiasaan yang umum alias standar, tapi ada juga kebiasaan-kebiasaan yang unik atau khas. Namun, semuanya bermuara pada hasil atau prestasi yang mereka raih.
Bagi sahabat saya yang menanyakan soal kebiasaan-kebiasaan menulis saya ini, saya tekankan bahwa yang terbaik adalah menemukan dan menumbuhkan kebiasaan sendiri. Artinya, boleh saja kita berkaca pada sekian banyak kebiasaan penulis sukses. Tapi, itu semua hanya “makanan tambahan” alias inspirasi saja bagi proses kreatif kita. Jadi, kalau bermaanfaat, ya ambil, kalau malah jadi beban, ya tinggal saja. Sebab, yang lebih penting adalah menemukan kebiasaan sendiri, yang paling efektif dan paling disukai. Karena, muara kita tetap pada produktivitas dan kualitas karya. Selamat menumbuhkan kebiasaan menulis yang terbaik. Dan, salam bestseller.[ez]
MENGAPA ORANG PINTAR TAKUT MENULIS?
Saya sering menemui sahabat yang punya minat sangat besar untuk mulai belajar menulis. Mereka datang dari beragam usia serta latar belakang profesi, pendidikan, bahkan status sosial-ekonomi. Tak sedikit di antaranya yang sudah membaca sekian banyak buku tentang teknik menulis, mengikuti seminar, dan lokakarya (workshop). Tak sedikit yang sudah memiliki dasar-dasar kemampuan menulis cukup memadai sebagai konsekuensi pekerjaan, profesi, atau tugas-tugas di masa studi. Sebagian lagi malah sudah sampai pada tahap sikap seperti ini, “Pokoknya apa pun akan saya lakukan, asal saya bisa menulis dengan baik!” Luar biasa!
Tapi, apakah para sahabat ini serta merta langsung belajar menulis? Ternyata tidak! Ini yang membuat saya sering bertanya-tanya, “Apa lagi ya yang kurang?” Selidik demi selidik, bagi sebagian dari kita ternyata menulis itu memang bukan perkara mudah. Mengapa tidak mudah? Ternyata, soal menulisnya sendiri sih bisa mudah, tapi perkara ‘beban mental’-nya itu yang tidak mudah. Wah, apa lagi ini?
Begini, bagi sebagian dari kita, aktivitas menulis itu sering dilingkupi oleh berbagai bayangan, persepsi, atau mitos keliru. Entah dari mana munculnya dan kapan bersarang di otak kita, tapi anggapan-anggapan yang keliru itu mampu menelikung semangat untuk menulis—bahkan semangat yang paling membara sekalipun. Saya akan perinci beberapa di antaranya.
Pertama, ada orang yang berpikir bahwa tulisan itu mencerminkan kemampuan, pengalaman, wawasan, intelektualitas, bahkan kepribadian si penulisnya. Dalam derajat tertentu, anggapan ini jelas ada benarnya. Memang, sebuah tulisan pastilah dihasilkan berdasarkan kecakapan atau keahlian si penulisnya. Intensitas dalam sebuah proses penulisan, kadang memang terekam dengan baik dalam hasil tulisan.
Makanya, orang awam pun kadang dengan mudah mengenali sejumlah hal—baik itu tingkat kemampuan, banyaknya pengalaman, luasnya wawasan, kadar intelektualitas, bahkan kepribadian si penulis—selain gagasan-gagasan dalam tulisan itu sendiri. Orang-orang ‘pintar’ pada umumnya, justru sangat paham akan konsekuensi ini. Dan, kepahaman ini pula yang justru jadi biang masalah dalam kepenulisan.
Makanya, akan salah besar jika kemudian muncul ketakutan menulis, semata-mata karena ngeri kalau-kalau tulisan kita nanti diadili orang lain, yang kita anggap lebih pintar dalam bidang yang ditulis. Kadang yang membuat ngeri bukannya pengadilan terhadap gagasan-gagasan dalam tulisan itu sendiri, tapi lebih karena ‘ancaman’ pengadilan kepada siapa yang menulis.
Jadi, ini soal ego yang ‘terancam’ oleh pikiran, persepsi, atau anggapan sendiri, yang belum tentu benar adanya. Benar sedikit atau seluruhnya, ternyata perasaan terancam ini pula yang menjadi sumber ketakutan untuk menulis.
Kedua, mirip-mirip dengan permasalahan pertama, tak jarang orang yang baru belajar atau memutuskan menulis mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri secara ‘kejam’: “Siapa sih aku, kok berani-beraninya menulis?” Kalau mau dipanjanglebarkan, maka akan muncul rentetetan gugatan pada niatan menulis, “Apa orang mau baca tulisanku?”, “Apa iya ide saya yang minim pengalaman ini layak ditulis?”, “Apa orang tidak akan menertawakan saya kalau saya menulis soal ini?”, dan masih banyak lagi.
Jadi, ini soal ancaman pengadilan terhadap ‘siapa’ si penulis itu. Percaya atau tidak, sindrom semacam ini—kalau boleh disebut begitu—menghinggapi bukan saja para calon penulis yang baru pada tahap belajar, tapi juga membelenggu kalangan intelektual, akademisi, atau para profesional yang sangat well educated dan well informed. Sindrom ini sangat berbahaya sekali. Mengapa? Kreativitas bisa macet gara-gara kita terlalu berfokus pada soal siapa diri kita dan layak tidaknya kita menulis.
Menurut saya, sindrom ini adalah soal psikologis, sementara gagasan yang hendak ditulis sama sekali tidak bertautan dengan hal tersebut. Orang bisa saja takut ini-itu ketika hendak menulis, tapi ketakutan itu sendiri tidak otomatis mengindikasikan kualitas gagasan yang hendak ditulis.
Ketiga, ancaman ‘pengadilan’ terhadap gagasan sendiri dan masalah ini juga masih bersambungan dengan persoalan-persoalan sebelumnya. Tak jarang karena pertanyaan-pertanyaan kritis soal siapa yang menulis, maka gagasan yang brilian sekalipun sering dipendam atau tidak diperbolehkan mekar.
Bagus tidaknya intisari gagasan seseorang tidak ditentukan oleh siapa pencetusnya ataupun kondisi-kondisi psikologis seseorang. Gagasan tetaplah gagasan, sekalipun ditulis oleh siapa saja dan dalam kondisi tidak percaya diri, ketakutan, dan ragu-ragu sekalipun.
Dari premis ini pula, dalam hal kepenulisan saya termasuk ‘penganut’ nilai gagasan an sich, bukan soal siapa yang menulis. Saya menghargai gagasannya, bukan siapa yang menulis. Gagasan atau tulisan seorang pembantu rumah tangga sama berharganya seperti pendapat seorang guru besar atau pakar. Gagasan tukang sol sepatu sama-sama layak diapresiasi sebagaimana ide-ide para direktur perusahaan maupun pejabat pemerintahan. Jika gagasannya bagus dan ditulis dengan baik pula, itu pantas dipuji dan diapresiasi, siapa pun penulisnya.
Bagaimana dengan gagasan buruk (bad idea)? Saya sendiri selalu bertanya-tanya, apa benar ada yang namanya gagasan buruk? Dalam ranah fungsional, mungkin ada (dalam pengertian gagasan yang tidak aplikatif). Tapi dalam ranah ide, rasanya tidak ada gagasan buruk. Yang ada mungkin hanya gagasan yang tidak disampaikan atau ditulis secara sistematis dan logis sehingga menguatkan ciri ketidakbaikannya itu.
Keempat, tak jarang bayangan atau anggapan-anggapan yang keliru tentang kepenulisan itu datang dari lingkungan di mana kita belajar sebelumnya. Maksudnya, tempat kita menyerap pengetahuan dan belajar menulis (SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, kursus-kursus, tempat kerja, atau mentor) memberikan pedoman kepenulisan yang ternyata tidak efektif bagi diri pribadi kita.
Dalam hal menulis, memang banyak strategi, teknik, atau cara menulis yang diserap dari beragam praktik, yang kemudian dibukukan, diajarkan, atau diaplikasikan dalam kelas.
Menariknya, sekalipun banyak metode tersebut efektif untuk kebanyakan orang, tapi selalu saja ada pribadi-pribadi unik yang butuh lebih dari pedoman yang ada. Saya percaya setiap orang punya cara belajar dan berkarya sendiri-sendiri, sehingga sebuah pedoman untuk berkreasi—secanggih dan seampuh apa pun itu—tidak otomatis cocok untuk semua orang.
Saya misalnya, pernah menghadapi adik sendiri yang sedang belajar menulis artikel. Ia punya kegemaran menulis paragraf panjang-panjang, kadang hampir satu halaman penuh hanya untuk satu paragraf, yang membuat si pembaca merasa kelelahan membaca tulisannya. Ketika saya sampaikan teknik menulis paragraf yang efektif, adik saya ini merasa tidak sepaham karena—menurut apa yang pernah dia terima dari guru bahasa di SMA dan beberapa dosen yang pernah dia tanyai—teknik itu dianggap menyalahi ‘aturan’.
Maka dari itu, sekalipun teknik penulisan yang saya tawarkan saya anggap efektif, tapi karena dianggap adik saya menyalahi aturan, ya akhirnya jadi tidak efektif lagi, alias tidak dipergunakan. Ketakutan melanggar ‘aturan’ inilah yang mungkin membuat banyak orang enggan beranjak ke cara penulisan yang bisa jadi lebih cocok dan efektif bagi proses kreatifnya.
Persoalannya, apa gunanya ‘aturan’ atau pedoman kepenulisan—yang belum tentu benar keseluruhannya dan pas dengan kebutuhan kita—bila justru menghambat proses kreatif? Pada titik ini, tak ada salahnya mulai berpaling ke cara-cara baru yang lebih mendukung proses kreatif dan produktivitas kita. “Lurus tak selalu bagus,” kata saya pada adik saya ini.
Kelima, soal motif menulis. Dalam hal menulis, sebagian orang sejak dini sudah membentengi diri dengan sekian banyak pantangan. Misalnya, pantang menulis karena motif finansial. Pantang menulis untuk kepentingan personal branding. Pantang menulis karena bau pasar atau industri. Dan, masih banyak lagi pantang lainnya. Manakala berhadap-hadapan dengan tuntutan aktivitas menulis yang menuntut kompromi, maka sikap pantang ini bisa jadi penghambat yang serius.
Saya pernah berhadapan dengan seorang profesional yang menurut pandangan saya sudah cukup kaya dengan pengalaman di bidangnya. Jika sudah sampai pada tahap seperti itu, maka menuliskan gagasan-gagasan terbaiknya dalam bentuk buku adalah sebuah pilihan yang menantang. Tapi karena idealisme untuk menulis buku masterpiece—sementara waktu dan kemampuan menulis belum padu padan—si profesional ini memilih untuk tidak menulis dulu. Baginya, pantang menulis (buku) sederhana (yang dalam pikiran saya, itu bisa jadi solusi sementara bagi para profesional nonpenulis). Akhirnya, sejumlah pilihan teknik menulis yang lebih praktis dan mudah pun diabaikan.
Sesungguhnya, menulis adalah alat untuk berkomunikasi atau penyampai pesan. Karena hakikatnya alat maka tulisan itu netral. Tulisan baru punya value tertentu begitu diberi motif oleh si penulisnya. Karena di dunia ini ada beribu kepentingan, maka akan ada beribu motif pula dalam memanfaatkan tulisan. Orang bisa menulis karena motif uang, popularitas, kesuksesan, pengaruh, legitimasi, keilmuan, keagamaan, propaganda politik, dan masih banyak lagi. Motif tersebut bisa berdiri di titik ekstrim idealis sampai di titik ekstrim pragmatis. Semuanya sah-sah saja, sama bermaknanya satu dengan yang lain.
Sebagai editor dan penulis profesional, saya sering mendapati problem motif ini lumayan membelenggu sebagian orang yang hendak menuliskan gagasannya. Betapa motif bisa memacu tapi juga bisa membelenggu. Idealisme sering bertarung dengan pragmatisme. Sebagian orang bisa berkompromi dan melanjutkan aktivitas menulis, sebagian lagi berhenti pada niat dan melupakannya. Menulis akhirnya menjadi sesuatu yang jauh lebih rumit sifatnya.
Jika menghadapi dilema semacam ini, kita tidak perlu takut untuk berkompromi. Idealisme tidak boleh menghambat gerak kreatif kita, sebaliknya pragmatisme juga tidak boleh membuat kreativitas kita jadi liar nirmakna. Gagasan-gagasan terbaik seharusnya tidak menguap hanya karena kita takut dengan motif atau idealisme menulis.
Sejauh ini kita sudah mengurai akar masalah kenapa orang awam maupun orang yang paling berkompeten sekalipun bisa takut menulis. Lalu, adakah cara-cara atau teknik untuk menaklukkan rasa takut menulis itu? Jawabannya, ada dan banyak sekali. Kita akan diskusikan pada tulisan berikutnya. Salam bestseller! [edy zakheus]
Tapi, apakah para sahabat ini serta merta langsung belajar menulis? Ternyata tidak! Ini yang membuat saya sering bertanya-tanya, “Apa lagi ya yang kurang?” Selidik demi selidik, bagi sebagian dari kita ternyata menulis itu memang bukan perkara mudah. Mengapa tidak mudah? Ternyata, soal menulisnya sendiri sih bisa mudah, tapi perkara ‘beban mental’-nya itu yang tidak mudah. Wah, apa lagi ini?
Begini, bagi sebagian dari kita, aktivitas menulis itu sering dilingkupi oleh berbagai bayangan, persepsi, atau mitos keliru. Entah dari mana munculnya dan kapan bersarang di otak kita, tapi anggapan-anggapan yang keliru itu mampu menelikung semangat untuk menulis—bahkan semangat yang paling membara sekalipun. Saya akan perinci beberapa di antaranya.
Pertama, ada orang yang berpikir bahwa tulisan itu mencerminkan kemampuan, pengalaman, wawasan, intelektualitas, bahkan kepribadian si penulisnya. Dalam derajat tertentu, anggapan ini jelas ada benarnya. Memang, sebuah tulisan pastilah dihasilkan berdasarkan kecakapan atau keahlian si penulisnya. Intensitas dalam sebuah proses penulisan, kadang memang terekam dengan baik dalam hasil tulisan.
Makanya, orang awam pun kadang dengan mudah mengenali sejumlah hal—baik itu tingkat kemampuan, banyaknya pengalaman, luasnya wawasan, kadar intelektualitas, bahkan kepribadian si penulis—selain gagasan-gagasan dalam tulisan itu sendiri. Orang-orang ‘pintar’ pada umumnya, justru sangat paham akan konsekuensi ini. Dan, kepahaman ini pula yang justru jadi biang masalah dalam kepenulisan.
Makanya, akan salah besar jika kemudian muncul ketakutan menulis, semata-mata karena ngeri kalau-kalau tulisan kita nanti diadili orang lain, yang kita anggap lebih pintar dalam bidang yang ditulis. Kadang yang membuat ngeri bukannya pengadilan terhadap gagasan-gagasan dalam tulisan itu sendiri, tapi lebih karena ‘ancaman’ pengadilan kepada siapa yang menulis.
Jadi, ini soal ego yang ‘terancam’ oleh pikiran, persepsi, atau anggapan sendiri, yang belum tentu benar adanya. Benar sedikit atau seluruhnya, ternyata perasaan terancam ini pula yang menjadi sumber ketakutan untuk menulis.
Kedua, mirip-mirip dengan permasalahan pertama, tak jarang orang yang baru belajar atau memutuskan menulis mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri secara ‘kejam’: “Siapa sih aku, kok berani-beraninya menulis?” Kalau mau dipanjanglebarkan, maka akan muncul rentetetan gugatan pada niatan menulis, “Apa orang mau baca tulisanku?”, “Apa iya ide saya yang minim pengalaman ini layak ditulis?”, “Apa orang tidak akan menertawakan saya kalau saya menulis soal ini?”, dan masih banyak lagi.
Jadi, ini soal ancaman pengadilan terhadap ‘siapa’ si penulis itu. Percaya atau tidak, sindrom semacam ini—kalau boleh disebut begitu—menghinggapi bukan saja para calon penulis yang baru pada tahap belajar, tapi juga membelenggu kalangan intelektual, akademisi, atau para profesional yang sangat well educated dan well informed. Sindrom ini sangat berbahaya sekali. Mengapa? Kreativitas bisa macet gara-gara kita terlalu berfokus pada soal siapa diri kita dan layak tidaknya kita menulis.
Menurut saya, sindrom ini adalah soal psikologis, sementara gagasan yang hendak ditulis sama sekali tidak bertautan dengan hal tersebut. Orang bisa saja takut ini-itu ketika hendak menulis, tapi ketakutan itu sendiri tidak otomatis mengindikasikan kualitas gagasan yang hendak ditulis.
Ketiga, ancaman ‘pengadilan’ terhadap gagasan sendiri dan masalah ini juga masih bersambungan dengan persoalan-persoalan sebelumnya. Tak jarang karena pertanyaan-pertanyaan kritis soal siapa yang menulis, maka gagasan yang brilian sekalipun sering dipendam atau tidak diperbolehkan mekar.
Bagus tidaknya intisari gagasan seseorang tidak ditentukan oleh siapa pencetusnya ataupun kondisi-kondisi psikologis seseorang. Gagasan tetaplah gagasan, sekalipun ditulis oleh siapa saja dan dalam kondisi tidak percaya diri, ketakutan, dan ragu-ragu sekalipun.
Dari premis ini pula, dalam hal kepenulisan saya termasuk ‘penganut’ nilai gagasan an sich, bukan soal siapa yang menulis. Saya menghargai gagasannya, bukan siapa yang menulis. Gagasan atau tulisan seorang pembantu rumah tangga sama berharganya seperti pendapat seorang guru besar atau pakar. Gagasan tukang sol sepatu sama-sama layak diapresiasi sebagaimana ide-ide para direktur perusahaan maupun pejabat pemerintahan. Jika gagasannya bagus dan ditulis dengan baik pula, itu pantas dipuji dan diapresiasi, siapa pun penulisnya.
Bagaimana dengan gagasan buruk (bad idea)? Saya sendiri selalu bertanya-tanya, apa benar ada yang namanya gagasan buruk? Dalam ranah fungsional, mungkin ada (dalam pengertian gagasan yang tidak aplikatif). Tapi dalam ranah ide, rasanya tidak ada gagasan buruk. Yang ada mungkin hanya gagasan yang tidak disampaikan atau ditulis secara sistematis dan logis sehingga menguatkan ciri ketidakbaikannya itu.
Keempat, tak jarang bayangan atau anggapan-anggapan yang keliru tentang kepenulisan itu datang dari lingkungan di mana kita belajar sebelumnya. Maksudnya, tempat kita menyerap pengetahuan dan belajar menulis (SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, kursus-kursus, tempat kerja, atau mentor) memberikan pedoman kepenulisan yang ternyata tidak efektif bagi diri pribadi kita.
Dalam hal menulis, memang banyak strategi, teknik, atau cara menulis yang diserap dari beragam praktik, yang kemudian dibukukan, diajarkan, atau diaplikasikan dalam kelas.
Menariknya, sekalipun banyak metode tersebut efektif untuk kebanyakan orang, tapi selalu saja ada pribadi-pribadi unik yang butuh lebih dari pedoman yang ada. Saya percaya setiap orang punya cara belajar dan berkarya sendiri-sendiri, sehingga sebuah pedoman untuk berkreasi—secanggih dan seampuh apa pun itu—tidak otomatis cocok untuk semua orang.
Saya misalnya, pernah menghadapi adik sendiri yang sedang belajar menulis artikel. Ia punya kegemaran menulis paragraf panjang-panjang, kadang hampir satu halaman penuh hanya untuk satu paragraf, yang membuat si pembaca merasa kelelahan membaca tulisannya. Ketika saya sampaikan teknik menulis paragraf yang efektif, adik saya ini merasa tidak sepaham karena—menurut apa yang pernah dia terima dari guru bahasa di SMA dan beberapa dosen yang pernah dia tanyai—teknik itu dianggap menyalahi ‘aturan’.
Maka dari itu, sekalipun teknik penulisan yang saya tawarkan saya anggap efektif, tapi karena dianggap adik saya menyalahi aturan, ya akhirnya jadi tidak efektif lagi, alias tidak dipergunakan. Ketakutan melanggar ‘aturan’ inilah yang mungkin membuat banyak orang enggan beranjak ke cara penulisan yang bisa jadi lebih cocok dan efektif bagi proses kreatifnya.
Persoalannya, apa gunanya ‘aturan’ atau pedoman kepenulisan—yang belum tentu benar keseluruhannya dan pas dengan kebutuhan kita—bila justru menghambat proses kreatif? Pada titik ini, tak ada salahnya mulai berpaling ke cara-cara baru yang lebih mendukung proses kreatif dan produktivitas kita. “Lurus tak selalu bagus,” kata saya pada adik saya ini.
Kelima, soal motif menulis. Dalam hal menulis, sebagian orang sejak dini sudah membentengi diri dengan sekian banyak pantangan. Misalnya, pantang menulis karena motif finansial. Pantang menulis untuk kepentingan personal branding. Pantang menulis karena bau pasar atau industri. Dan, masih banyak lagi pantang lainnya. Manakala berhadap-hadapan dengan tuntutan aktivitas menulis yang menuntut kompromi, maka sikap pantang ini bisa jadi penghambat yang serius.
Saya pernah berhadapan dengan seorang profesional yang menurut pandangan saya sudah cukup kaya dengan pengalaman di bidangnya. Jika sudah sampai pada tahap seperti itu, maka menuliskan gagasan-gagasan terbaiknya dalam bentuk buku adalah sebuah pilihan yang menantang. Tapi karena idealisme untuk menulis buku masterpiece—sementara waktu dan kemampuan menulis belum padu padan—si profesional ini memilih untuk tidak menulis dulu. Baginya, pantang menulis (buku) sederhana (yang dalam pikiran saya, itu bisa jadi solusi sementara bagi para profesional nonpenulis). Akhirnya, sejumlah pilihan teknik menulis yang lebih praktis dan mudah pun diabaikan.
Sesungguhnya, menulis adalah alat untuk berkomunikasi atau penyampai pesan. Karena hakikatnya alat maka tulisan itu netral. Tulisan baru punya value tertentu begitu diberi motif oleh si penulisnya. Karena di dunia ini ada beribu kepentingan, maka akan ada beribu motif pula dalam memanfaatkan tulisan. Orang bisa menulis karena motif uang, popularitas, kesuksesan, pengaruh, legitimasi, keilmuan, keagamaan, propaganda politik, dan masih banyak lagi. Motif tersebut bisa berdiri di titik ekstrim idealis sampai di titik ekstrim pragmatis. Semuanya sah-sah saja, sama bermaknanya satu dengan yang lain.
Sebagai editor dan penulis profesional, saya sering mendapati problem motif ini lumayan membelenggu sebagian orang yang hendak menuliskan gagasannya. Betapa motif bisa memacu tapi juga bisa membelenggu. Idealisme sering bertarung dengan pragmatisme. Sebagian orang bisa berkompromi dan melanjutkan aktivitas menulis, sebagian lagi berhenti pada niat dan melupakannya. Menulis akhirnya menjadi sesuatu yang jauh lebih rumit sifatnya.
Jika menghadapi dilema semacam ini, kita tidak perlu takut untuk berkompromi. Idealisme tidak boleh menghambat gerak kreatif kita, sebaliknya pragmatisme juga tidak boleh membuat kreativitas kita jadi liar nirmakna. Gagasan-gagasan terbaik seharusnya tidak menguap hanya karena kita takut dengan motif atau idealisme menulis.
Sejauh ini kita sudah mengurai akar masalah kenapa orang awam maupun orang yang paling berkompeten sekalipun bisa takut menulis. Lalu, adakah cara-cara atau teknik untuk menaklukkan rasa takut menulis itu? Jawabannya, ada dan banyak sekali. Kita akan diskusikan pada tulisan berikutnya. Salam bestseller! [edy zakheus]
Minggu, 04 Mei 2008
Tips Belajar: Memilih Buku "Lokal"
Memilih buku "lokal"yang bermutu---dalam arti karya anak bangsa sendiri, bukan terjemahan--- tidak selalu mudah. Apalagi bagi mereka yang baru mulai "bergaul" dengan buku dan ingin memastikan pilihannya adalah bacaan bermutu. Ada begitu banyak pilihan dan setiap hari pilihan itu bertambah banyak jumlahnya. Berikut beberapa saran yang perlu diperhatikan agar tak salah menjatuhkan pilihan.
Pertama, kenali minat Anda. Fiksi atau nonfiksi? Ilmiah akademis atau ilmiah populer? Filsafat, teologia, agama, ekonomi, politik, sosial, budaya, pemasaran, pengembangan diri, psikologi, sosiologi, manajemen, atau apa? Kedua, perhatikan pengarangnya. Setiap bidang kajian, baik bersifat informatif, edukatif, atau pun rekreatif, memiliki pakarnya masing-masing. Mereka biasanya dikenal karena publikasi yang luas di media cetak maupun elektronik. Nama pengarang tertentu dapat memberikan gambaran minimum tentang mutu karyanya. Ketiga, perhatikan penerbitnya. Hal ini penting terutama bila kita tidak mengenal pengarang terkemuka di bidang yang kita minati. Pilih saja penerbit buku terkemuka yang umumnya selektif menerbitkan karya penulis, mengingat mereka ikut mempertaruhkan nama besarnya dengan menerbitkan jenis buku tertentu. Keempat, perhatikan judulnya. Pengarang yang baik tidak akan memberikan judul sembarangan. Dan judul yang baik seharusnya mewakili pesan-pesan pokok yang ingin disampaikan oleh penulisnya, terutama untuk buku nonfiksi. Kelima, bacalah sinopsis atau komentar tentang buku tersebut. Umumnya sebuah buku yang baik memuat sinopsis atau komentar para pakar dibidang terkait. Sinopsis dan komentar ini umumnya ditampilkan pada cover belakang buku tersebut. Apakah semua itu menggugah minat untuk mengetahuinya lebih jauh? Keenam, pertimbangkan harganya. Sebuah buku dengan berbagai macam format ukuran dijual dengan harga yang bermacam-macam. Umumnya untuk menilai apakah harga jual sebuah buku itu mahal atau tidak, dapat diperhitungkan tebal buku, ukurannya, dan harganya.
Dan sebagai parameter minimum untuk buku-buku "lokal", harga jual yang rasional biasanya sekitar Rp 80,00-Rp 120,00 per halaman. Misalnya, buku dengan format yang bagaimanapun kalau tebalnya 280 halaman (xxxvi hlm + 244 hlm isi), maka harganya sekitar Rp 22.400,00--Rp 33.600,00 per eksemplar. Ini dengan kondisi harga kertas tahun 2000. Kalau ukurannya saku, tentunya bisa lebih murah.
Ketujuh, lihat cetakan ke berapa. Buku tertentu disebut-sebut sebagai buku terlaris (best seller books). Artinya, terlepas dari soal mutu isinya, buku itu banyak dibeli orang. Kebanyakan buku nonfiksi dicetak sekitar 3.000 eksemplar pada awalnya. Dan untuk konteks Indonesia, jika cetakan pertama itu habis sebelum 3 bulan, maka itu termasuk buku laris.
Kedelapan, lihat daftar isinya. Kebanyakan buku yang diterbitkan penerbit terkemuka dibungkus plastik yang membuat kita sulit melihat daftar isinya. Namun toko buku yang baik biasanya menyediakan 1-2 eksemplar yang tak terbungkus, sehingga calon pembeli yang berminat dapat lebih dulu melihat daftar isinya untuk mengetahui apakah hal itu berkesesuaian dengan minatnya.
Kesembilan, sangat baik bila kita berkesempatan membaca lebih dulu resensi buku yang kita minati. Sebagian majalah mingguan dan koran edisi minggu selalu menampilkan rubrik pustaka, timbangan buku, resensi, atau sejenisnya. Hal ini dapat membantu kita menyeleksi bacaan agar mendapatkan yang bermutu.
Kesepuluh, mintalah saran dari para pencinta buku yang kita kenal. Masukan dari mereka umumnya berharga untuk dipertimbangkan.
Memang, semua saran di atas tidak memberikan jaminan 100 persen. Namun tidak berarti tidak berguna sama sekali, bukan? [TT]
Pertama, kenali minat Anda. Fiksi atau nonfiksi? Ilmiah akademis atau ilmiah populer? Filsafat, teologia, agama, ekonomi, politik, sosial, budaya, pemasaran, pengembangan diri, psikologi, sosiologi, manajemen, atau apa? Kedua, perhatikan pengarangnya. Setiap bidang kajian, baik bersifat informatif, edukatif, atau pun rekreatif, memiliki pakarnya masing-masing. Mereka biasanya dikenal karena publikasi yang luas di media cetak maupun elektronik. Nama pengarang tertentu dapat memberikan gambaran minimum tentang mutu karyanya. Ketiga, perhatikan penerbitnya. Hal ini penting terutama bila kita tidak mengenal pengarang terkemuka di bidang yang kita minati. Pilih saja penerbit buku terkemuka yang umumnya selektif menerbitkan karya penulis, mengingat mereka ikut mempertaruhkan nama besarnya dengan menerbitkan jenis buku tertentu. Keempat, perhatikan judulnya. Pengarang yang baik tidak akan memberikan judul sembarangan. Dan judul yang baik seharusnya mewakili pesan-pesan pokok yang ingin disampaikan oleh penulisnya, terutama untuk buku nonfiksi. Kelima, bacalah sinopsis atau komentar tentang buku tersebut. Umumnya sebuah buku yang baik memuat sinopsis atau komentar para pakar dibidang terkait. Sinopsis dan komentar ini umumnya ditampilkan pada cover belakang buku tersebut. Apakah semua itu menggugah minat untuk mengetahuinya lebih jauh? Keenam, pertimbangkan harganya. Sebuah buku dengan berbagai macam format ukuran dijual dengan harga yang bermacam-macam. Umumnya untuk menilai apakah harga jual sebuah buku itu mahal atau tidak, dapat diperhitungkan tebal buku, ukurannya, dan harganya.
Dan sebagai parameter minimum untuk buku-buku "lokal", harga jual yang rasional biasanya sekitar Rp 80,00-Rp 120,00 per halaman. Misalnya, buku dengan format yang bagaimanapun kalau tebalnya 280 halaman (xxxvi hlm + 244 hlm isi), maka harganya sekitar Rp 22.400,00--Rp 33.600,00 per eksemplar. Ini dengan kondisi harga kertas tahun 2000. Kalau ukurannya saku, tentunya bisa lebih murah.
Ketujuh, lihat cetakan ke berapa. Buku tertentu disebut-sebut sebagai buku terlaris (best seller books). Artinya, terlepas dari soal mutu isinya, buku itu banyak dibeli orang. Kebanyakan buku nonfiksi dicetak sekitar 3.000 eksemplar pada awalnya. Dan untuk konteks Indonesia, jika cetakan pertama itu habis sebelum 3 bulan, maka itu termasuk buku laris.
Kedelapan, lihat daftar isinya. Kebanyakan buku yang diterbitkan penerbit terkemuka dibungkus plastik yang membuat kita sulit melihat daftar isinya. Namun toko buku yang baik biasanya menyediakan 1-2 eksemplar yang tak terbungkus, sehingga calon pembeli yang berminat dapat lebih dulu melihat daftar isinya untuk mengetahui apakah hal itu berkesesuaian dengan minatnya.
Kesembilan, sangat baik bila kita berkesempatan membaca lebih dulu resensi buku yang kita minati. Sebagian majalah mingguan dan koran edisi minggu selalu menampilkan rubrik pustaka, timbangan buku, resensi, atau sejenisnya. Hal ini dapat membantu kita menyeleksi bacaan agar mendapatkan yang bermutu.
Kesepuluh, mintalah saran dari para pencinta buku yang kita kenal. Masukan dari mereka umumnya berharga untuk dipertimbangkan.
Memang, semua saran di atas tidak memberikan jaminan 100 persen. Namun tidak berarti tidak berguna sama sekali, bukan? [TT]
Langganan:
Postingan (Atom)