Kamis, 22 Mei 2008

MERUMUSKAN SEBELUM MENULIS

Sebelum menuangkan isi hati seorang penulis ke dalam sebuah tulisan, maka perlu dirumuskan terlebih dahulu hal-hal apa saja yang akan dituliskan. Semua data-data yang bersangkutan dengan tulisan yang akan dibuat dikumpulkan terlebih dahulu. Kemudian buatlah kerangka tulisan yang akan ditulis atau garis besarnya terlebih dahulu. Sertai tujuan dari membuat tulisan tersebut. Setelah semua siap, barulah menulis.
Tindakan menulis merupakan disiplin yang luhur dan menuntut kesabaran, ketabahan, serta tekad, dan usaha yang menuntut setiap penulis untuk menuliskan kembali cerita yang sudah selesai sampai berkali-kali. Hingga tulisan tersebut benar-benar baik. Dalam proses ini, ada keterkaitan antara membaca dan menulis. Kegiatan antara membaca dan menulis berjalan beriringan. Jika hendak belajar menulis dengan baik, bacalah tulisan-tulisan orang yang dapat menulis dengan baik pula. Bacalah hasil karya mereka dan temukan kerangka berpikirnya. Hal ini merupakan latihan untuk mempertajam dan mengembangkan kerangka berpikir kita, sehingga menjadi lebih tajam dan kreatif.
Dalam merumuskan sebuah tulisan, perlu diperhatikan untuk menulis satu atau dua halaman, baru disusul tulisan yang lain. Sesudah itu, kembangkan pemahaman secara menyeluruh dengan memperhatikan hal di bawah ini:
a. Menjawab pertanyaan pembaca
b. Menuliskan maksud penulis (mulai dengan definisi ringkas dari tujuan tulisan kita)
c. Visualisasikan (uraikan apa yang dilihat dengan menggambarkannya pada pikiran)
d. Menentukan batas waktu (mempersiapkan diri untuk menulis 15 menit tanpa henti. Jangan ragu-ragu sampai batas waktu yang ditentukan berakhir)

Untuk menjadi seorang penulis yang produktif diperlukan kerja keras dan ketekunan. Peenulis-penulis yang sukses adalah mereka yang secara tekun meluangkan waktunya untuk menulis, menjauhkan diri dari gangguan-gangguan kehidupan. Hal ini berarti dituntut adanya komitmen yang teratur dan terencana atas diri si penulis. Standardnya adalah dibutuhkan hasil, minimal setiap duduk ada sesuatu yang ditulis: satu kalimat cukup! Satu alinea lebih baik. Satu halaman berarti prestasi yang sangat baik. Lihatlah dengan cara ini, jika kita dapat menulis walaupun satu halaman saja dalam sehari, dalam satu tahun kita telah menuliskan 365 halaman, berarti bila dikumpulkan menjadi satu bisa menjadi sebuah buku buku yang indah dan besar. Ini adalah hasil karya anda. Akan tetapi persoalannya bukanlah berapa banyak yang ditulis setiap anda duduk, namun yang lebih bermakna dan terpenting adalah adanya kesabaran anda menambahkan sesuatu, atau bahkan menambahkan sebuah kata dalam cerita anda dan melakukannya kembali, dan menuliskan kembali sehingga semuanya selesai.
Tulisan yang terbaik sifatnya sederhana, jujur, dan langsung pada sasaran. Anda tidak perlu membayangkan diri anda seperti seorang penyair yang mengandalkan sedikit kata-kata yang berbunga-bunga. Ketika anda menceritakan sebuah kisah, cara terbaik untuk mengungkapkannya adalah hanya memberitahu orang lain, apa yang telah terjadi dan anda alami. Rakitlah kata-kata anda sehingga pembaca dengan cepat dapat memahaminya. Tulislah seolah-olah anda ingin berbicara, menceritakan serpihan-serpihan cerita. Jangan mengatakannya secara berulang-ulang atau mencoba seperti melawak. Buatlah satu pemikiran yang mengarah kepada pemikiran berikutnya. Jangan ragu-ragu untuk melakukan editing (menyunting), mencoret, menuliskannya kembali, dan mempertimbangkan kata-kata anda, sehingga cocok dengan kisah yang anda ceritakan.
Buatlah gambaran saat anda menulis. Buatlah kata-kata yang anda tulis menjadi semacam potret. Bayangkan sebuah peristiwa masa lalu anda, benar-benar memberikan sebuah imajinasi mental. Dengarkanlah apa yang dikatakan karakter-karakter itu. Ciumlah aromanya, dengarkan suara-suara dari peristiwa yang anda ingat itu. Sekarang tuliskanlah peristiwa itu sebagai citra gambar yang hidup dan yang akan anda sajikan kepada pembaca.
Tulislah seolah-olah hidup anda bergantung pada tulisan tersebut. Kehidupan anda mungkin tidak akan berubah satu partikel pun, sekalipun anda menulis atau tidak menuliskannya, tetapi orang lain yang membaca tulisan anda akan menilai kehidupan anda berdasarkan sejauh mana anda menulis ceritanya dengan baik. Kembangkanlah harga diri, kegembiraan, dan usaha untuk menuliskannya dengan hati-hati. Jangan habiskan waktu dengan perasaan kuatir mengenai apakah dapat melakukannya. Teruskan saja dan coba lagi.
Tulisan yang efektif adalah tulisan yang tepat-guna. Artinya tulisan itu harus dapat memenuhi kebutuhan pembacanya sekaligus memberikan informasi yang baru kepada pembacanya. Penulis menimbang kata yang digunakannya sesuai dengan kodratnya, memadukannya secara ekspresif. Penulis yang malas hanya menggunakan kata-kata yang klise, dengan harapan pembaca dapat langsung mengerti. Ia mengira bahwa kata-kata yang sudah lazim didengar dan diketahui oleh masyarakat akan segera memikat perhatian pembaca dan mereka pun memperoleh pemahaman.
Geraldine Henze, pengajar komunikasi di Sekolah Bisnis, Universitas California berkata: “Menulis merupakan suatu sarana untuk melakukan dua kemungkinan: Pertama: untuk menyusun pemikiran. Kedua, untuk berkomunikasi.”
Penulis yang malas akan menghasilkan tulisan yang tidak komunikatif. Sebagai seorang penulis, dia harus bergumul setiap hari dengan kata-kata dan memilih kata spesifik yang mampu memberi warna dalam tulisannya. Seorang penulis harus jujur kepada dirinya sendiri. Ia mencari ungkapan-ungkapan yang otentik dengan kata yang bervariasi, bukan dengan kata-kata klise atau berbunga-bunga. Dengan demikian berarti penulis harus memiliki kata-kata sendiri, yang khas dengan dirinya dalam berekspresi, sehingga kata-katanya menjadi kuat. (By: Tony Tedjo)

Rabu, 14 Mei 2008

KOMUNITAS PENULIS ROHANI


Syalom, kami mengundang kepada Anda yang hobi menulis atau yang berminat menjadi penulis, untuk bergabung dengan kami dalam Komunitas Penulis Rohani (KPR). KPR didirikan tgl. 4 Agustus 2008 oleh pendirinya Tony Tedjo di Bandung. Saat ini yang sudah bergabung menjadi anggota sudah 40 orang, dari berbagai kota seperti Bandung, Cimahi, Subang, Jakarta. Tgl. 24 November 2008 nanti akan diadakan pemilihan Ketua dan koordinator untuk masing-masing kota.

Yang menjadi anggota KPR tidak terbatas hanya bagi orang Bandung (Jawa), kami rindu juga anak-anak Tuhan lain yang berada di luar Jawa maupun di luar negeri yang terbeban untuk melayani dalam penulisan agar mendaftarkan diri menjadi anggota. Untuk menjadi peserta Anda hanya membayar Rp20000 (untuk 1 tahun), menyerahkan pas foto 3x4 3 bh, dan fotocopy KTP yang masih berlaku. Nikmati layanan diskon di 4000 merchand di 4 kota (Bandung, Jakarta, Surabaya, Semarang) yang bekerjasama dengan EC (Educational Card). Dan juga Anda bisa membeli buku-buku terbitan AGAPE dengan diskon 30%.

Untuk informasi dan pendaftaran hubungi 081394401799; 08818223608 atau 08888255416. Email: tony_kharis@yahoo.com atau anggi_1234@plasa.com. Kunjungi juga http://www.agapemedia.blogspot.com/


Salam kegerakan penulis


Tony Tedjo

Selasa, 06 Mei 2008

SOW (School of Writing)



Sekolah Menulis dengan Sentuhan Alkitabiah

Sekilas Pandang
Sow dalam bahasa Inggris artinya adalah menaburkan, dalam hal ini menaburkan benih. Benih-benih ditaburkan dengan harapan agar dikemudian hari benih-benih yang sudah ditaburkan itu bisa dituai. Tentunya hasil yang diharapkan adalah agar semua benih yang ditaburkan itu bisa bertumbuh dan pada akhirnya berbuah.
Atas dasar ini, kami membentuk SOW, sekolah menulis dengan sentuhan alkitabiah. Melalui materi-materi mengenai kepenulisan yang diajarkan di sekolah, diharapkan agar di kemudian hari bisa bermunculan para penulis rohani yang menghasilkan tulisan-tulisan yang bermutu dan berbobot dengan nilai-nilai alkitabiah. Para penulis ini diharapkan mampu mengabarkan nilai-nilai kekekalan yang bersumber dari Alkitab untuk dibagikan kepada orang lain, khususnya dunia. Sehingga ada banyak orang yang dimenangkan bagi kemuliaan nama Tuhan Yesus.

Salam dahsyat penulis




Visi dan Misi
Untuk membangun para penulis dengan sentuhan alkitabiah dan penerbit buku rohani sebagai sarana membagikan Kabar Baik bagi semua orang.

Motto
Mencerdaskan, Memberkati, Menjangkau




Materi Belajar
Menulis Renungan Harian
Menulis di Majalah
Menulis Biografi dan Autobiografi
Menulis Cerpen dan Novel
Menulis Buku
Manajemen Penerbitan
Editing
Wawancara


Angkatan ke-2 akan dibuka Februari 2009
Februari-Maret 2009

Pengajar


Tony Tedjo, M.Th
Sostenis Ngebu, MA
Gangga Eltho, M.Div
Heru Winoto, S.Th
Agus Nugroho, S.Th
Johny Tedjo, S.Th
Wilfrid Johannsen


Informasi dan pendaftaran: 02291898699; 08888255416 atau 081394401799
tony_kharis@yahoo.com; anggi_1234@plasa.com; www.agapemedia.blogspot.com

5 KEBIASAAN PRODUKTIF PENULIS BESTSELLER

Beberapa hari lalu, seorang sahabat penulis mengirimkan SMS kepada saya. Bunyinya demikian, “Selamat siang Mas Edy. Saya mau membentuk kebiasaan menulis. Boleh tahu lima kebiasaan Mas Edy yang dirasakan efektif mendukung menjadi seorang penulis produktif bestseller? Terima kasih.”
SMS tersebut menggelitik saya untuk menuliskan artikel ini. Sebenarnya, saya sendiri tidak sepenuhnya yakin, apakah saya sungguh-sungguh memiliki kebiasaan-kebiasaan yang dia maksud. Tetapi, kalau boleh bercerita di sini, saya memang memiliki sejumlah kebiasaan dalam proses kreatif penulisan. Sebagian di antaranya memang benar-benar sudah jadi kebiasaan saya saban hari, sementara yang lain merupakan proses yang tampaknya menuju ke arah terciptanya kebiasaan baru.
Nah, mungkin saja kebiasaan-kebiasaan itulah yang membuka peluang saya untuk tetap produktif menulis. Mungkin pula, kebiasaan-kebiasaan itulah yang—langsung atau tidak langsung—ikut berpengaruh dan menjadikan buku-buku saya bestseller. Apa saja kebiasaan tersebut? Ini dia ceritanya.
Pertama, saya selalu menyukai tema-tema tulisan yang saya prediksi bakal menarik minat serta sungguh-sungguh bermanfaat bagi saya sendiri maupun pembaca. Saya pun selalu membaca tulisan-tulisan—yang menurut saya sendiri—sangat menarik perhatian saya. Nah, kebiasaan untuk selalu intens dengan hal-hal menarik dan bermanfaat inilah yang kemudian mendorong saya untuk terus berusaha menulis tema-tema pilihan.
Contoh, ketika saya melihat dan mendengar bahwa tema-tema wirausaha begitu digemari oleh masyarakat, saya pun mencoba mempelajari dengan detail dan berusaha menuliskannya. Tulisan semula hanya berwujud rajutan kiat-kiat berwirausaha, dan di lain waktu saya kembangkan menjadi tulisan yang lebih lengkap. Ketika dikompilasi, hasilnya adalah buku laris Resep Cespleng Berwirausaha (Gradien, 2004). Pola ini juga terjadi pada kasus artikel-artikel atau buku-buku saya lainnya.
Kedua, saya selalu mencatat setiap ide tulisan di sebuah “buku bank ide” dalam bentuk judul. Mengapa dalam bentuk judul? Sebab, inilah kebiasaan saya untuk memampatkan atau mengkristalkan gagasan-gagasan—yang mungkin saja panjang lebar—ke dalam bentuk yang simpel, mudah diingat, dan yang terpenting memotivasi/memprovokasi saya untuk mengelaborasinya menjadi naskah buku.
Minimal, ide-ide dalam bentuk judul itu sudah menggambarkan adanya tabungan ide kreatif saya. Makanya, dalam beberapa kesempatan saya sampaikan bahwa saya sampai memiliki lebih dari 700 judul tema buku atau artikel. Namun, yang tak kalah penting adalah tindak lanjut atau kreasi berikutnya atas bank ide tersebut. Dan ternyata, saya sangat terbantu oleh bank ide tersebut dalam setiap proses penulisan dan penyuntingan. Baik untuk keperluan pribadi, penerbitan, maupun saat menangani klien-klien saya.
Ketiga, saya menjadikan aktivitas menulis sebagai sebuah kesenangan yang menantang. Apa kesenangannya dan apa pula tantangannya? Kesenangannya adalah bahwa saya bisa menjadikan aktivitas menulis sebagai sesuatu yang memberikan dampak finansial. Saya teramat sadar dan meyakini bahwa seorang penulis dapat hidup layak dari pekerjaan atau profesinya sebagai penulis. Asalakan, dia mampu memanfaatkan kemampuan menulis itu dengan baik.
Aktivitas menulis menjadi begitu menyenangkan bagi saya karena bisa memberikan penghasilan dalam bentuk honor, professional fee, maupun royalti. Dengan kemampuan menulis yang baik (termasuk di dalamnya kemampuan editing), membuat hari-hari saya dipenuhi oleh pekerjaan yang berkutat pada soal tulis-menulis dan penerbitan. Tapi yang tak kalah penting, aktivitas ini memberikan sumber penghidupan yang amat memadai.
Tantangannya, saya selalu terdorong untuk menghasilkan karya yang lebih baik, lebih banyak lagi, serta lebih diterima oleh para pembaca. Tantangan ini membuat saya tidak mau berhenti belajar untuk terus meningkatkan kemampuan menulis. Saya bahkan belajar kepada klien-klien yang saya tangani, yang notabene banyak di antaranya yang baru pertama kali belajar menulis. Setiap pengalaman, peristiwa, atau situasi yang berbeda bisa menjadi inspirasi yang kaya bagi dunia kepenulisan saya maupun proses pengembangan diri saya sendiri.
Keempat, saya menjadikan aktivitas menulis sebagai salah satu komponen utama dalam proses pengembangan diri saya. Aktivitas menulis tidak akan lepas dari proses belajar. Dan, belajar adalah intisari proses pengembangan diri. Maka, jika kita belajar atau sedang menulis, maka sesungguhnya kita sedang mengembangkan atau mengaktualisasikan potensi-potensi dalam diri kita, supaya kemudian ada progress dalam kehidupan kita.
Saya temukan bahwa ketika kita menulis, sejatinya—dalam bahasa Stephen R. Covey—kita sedang mengembangkan realitas kita. Dalam menulis pula, sejatinya—dalam bahasa Wallace D. Wattles—kita sedang menjadikan ide mewujud menjadi peristiwa, realitas, atau materi. Makanya, memupuk kebiasaan menulis, dalam pandangan saya, sama saja artinya untuk membuktikan kebenaran teori-teori para penulis-motivator legendaris tersebut.
Hari demi hari saya semakin yakin bahwa menulis merupakan instrumen pengembangan diri yang luar biasa. Sebab, saya alami sendiri, saya temukan, dan saya ikut bersinggungan langsung dalam serangkaian proses perubahan hidup sejumlah orang yang kemudian menjadi penulis. Makanya tidak ada keraguan lagi, manakala kita mulai membiasakan diri untuk menulis, maka satu pintu perubahan hidup sudah ada di depan kita.
Kelima, saya selalu berusaha memublikasikan tulisan-tulisan yang sudah saya selesaikan. Bagi saya, menulis itu ada misinya tersendiri, yaitu untuk menanamkan pengaruh tertentu kepada pembaca. Sementara, hanya tulisan yang “hidup” saja yang bisa mempengaruhi orang. Namun, tulisan baru “hidup” atau “punya nyawa” jika sudah dibaca oleh orang lain. Nah, untuk menghidupkan tulisan atau memberinya nyawa, jalan satu-satunya adalah dengan memublikasikan tulisan tersebut.
Waktu SD dulu, “media” saya untuk memublikasikan tulisan saya adalah buku tulis bergaris, dan pembacanya adalah keluarga sendiri atau teman-teman sekelas. Waktu SMP, pantun saya pernah dimuat di koran mingguan Sinar Pagi Minggu (sehingga “mempengaruhi” seorang mahasiswa untuk berkorespondensi dengan saya he he he...). Waktu SMA, mading (majalah dinding) adalah media ekspresi saya.
Saat kuliah di Yogyakarta, saya mulai dari memublikasikan tulisan di majalah kampus Balairung, surat pembaca di majalah Tempo, sampai kemudian mampu merambah media massa seperti Kedaulatan Rakyat dan Bernas. Ketika menjadi wartawan, saya sudah tidak lagi dipusingkan dengan urusan mencari wadah untuk publikasi tulisan-tulisan saya.
Kini, saat saya menjalankan profesi sebagai editor, penerbit, dan penulis buku, ruang untuk menghidupkan tulisan itu terasa berlimpah. Tapi, saya pikir saat ini semua penulis atau siapa pun yang baru belajar menulis, sesungguhnya mempunyai ruang berlimpah untuk memublikasikan tulisannya. Kita bisa lirik mailing list, blog, maupun website umum yang relevan serta memang mau menampilkan tulisan kita.
Prinsip yang saya tekankan kepada semua penulis, yang terpenting adalah jangan sampai menjadikan tulisan kita seperti “mumi”. Tulisan yang diperlakukan seperti “mumi” ini—yang dibungkus, disimpan rapi, atau malah disembunyikan—tidak akan pernah “hidup” dan memberikan pengaruh. Jadi, beri nyawa pada tulisan kita dengan memublikasikannya.
Apakah hanya lima kebiasaan ini saja? Ya, karena diminta lima kebiasaan, jadi yang saya tulis ya lima saja he he he... Mungkin ada yang lain, tapi saya belum terpikir sama sekali atau malah tidak menemukannya. Yang pasti, hampir semua penulis sukses memiliki kebiasaan yang umum alias standar, tapi ada juga kebiasaan-kebiasaan yang unik atau khas. Namun, semuanya bermuara pada hasil atau prestasi yang mereka raih.
Bagi sahabat saya yang menanyakan soal kebiasaan-kebiasaan menulis saya ini, saya tekankan bahwa yang terbaik adalah menemukan dan menumbuhkan kebiasaan sendiri. Artinya, boleh saja kita berkaca pada sekian banyak kebiasaan penulis sukses. Tapi, itu semua hanya “makanan tambahan” alias inspirasi saja bagi proses kreatif kita. Jadi, kalau bermaanfaat, ya ambil, kalau malah jadi beban, ya tinggal saja. Sebab, yang lebih penting adalah menemukan kebiasaan sendiri, yang paling efektif dan paling disukai. Karena, muara kita tetap pada produktivitas dan kualitas karya. Selamat menumbuhkan kebiasaan menulis yang terbaik. Dan, salam bestseller.[ez]

MENGAPA ORANG PINTAR TAKUT MENULIS?

Saya sering menemui sahabat yang punya minat sangat besar untuk mulai belajar menulis. Mereka datang dari beragam usia serta latar belakang profesi, pendidikan, bahkan status sosial-ekonomi. Tak sedikit di antaranya yang sudah membaca sekian banyak buku tentang teknik menulis, mengikuti seminar, dan lokakarya (workshop). Tak sedikit yang sudah memiliki dasar-dasar kemampuan menulis cukup memadai sebagai konsekuensi pekerjaan, profesi, atau tugas-tugas di masa studi. Sebagian lagi malah sudah sampai pada tahap sikap seperti ini, “Pokoknya apa pun akan saya lakukan, asal saya bisa menulis dengan baik!” Luar biasa!
Tapi, apakah para sahabat ini serta merta langsung belajar menulis? Ternyata tidak! Ini yang membuat saya sering bertanya-tanya, “Apa lagi ya yang kurang?” Selidik demi selidik, bagi sebagian dari kita ternyata menulis itu memang bukan perkara mudah. Mengapa tidak mudah? Ternyata, soal menulisnya sendiri sih bisa mudah, tapi perkara ‘beban mental’-nya itu yang tidak mudah. Wah, apa lagi ini?
Begini, bagi sebagian dari kita, aktivitas menulis itu sering dilingkupi oleh berbagai bayangan, persepsi, atau mitos keliru. Entah dari mana munculnya dan kapan bersarang di otak kita, tapi anggapan-anggapan yang keliru itu mampu menelikung semangat untuk menulis—bahkan semangat yang paling membara sekalipun. Saya akan perinci beberapa di antaranya.
Pertama, ada orang yang berpikir bahwa tulisan itu mencerminkan kemampuan, pengalaman, wawasan, intelektualitas, bahkan kepribadian si penulisnya. Dalam derajat tertentu, anggapan ini jelas ada benarnya. Memang, sebuah tulisan pastilah dihasilkan berdasarkan kecakapan atau keahlian si penulisnya. Intensitas dalam sebuah proses penulisan, kadang memang terekam dengan baik dalam hasil tulisan.
Makanya, orang awam pun kadang dengan mudah mengenali sejumlah hal—baik itu tingkat kemampuan, banyaknya pengalaman, luasnya wawasan, kadar intelektualitas, bahkan kepribadian si penulis—selain gagasan-gagasan dalam tulisan itu sendiri. Orang-orang ‘pintar’ pada umumnya, justru sangat paham akan konsekuensi ini. Dan, kepahaman ini pula yang justru jadi biang masalah dalam kepenulisan.
Makanya, akan salah besar jika kemudian muncul ketakutan menulis, semata-mata karena ngeri kalau-kalau tulisan kita nanti diadili orang lain, yang kita anggap lebih pintar dalam bidang yang ditulis. Kadang yang membuat ngeri bukannya pengadilan terhadap gagasan-gagasan dalam tulisan itu sendiri, tapi lebih karena ‘ancaman’ pengadilan kepada siapa yang menulis.
Jadi, ini soal ego yang ‘terancam’ oleh pikiran, persepsi, atau anggapan sendiri, yang belum tentu benar adanya. Benar sedikit atau seluruhnya, ternyata perasaan terancam ini pula yang menjadi sumber ketakutan untuk menulis.
Kedua, mirip-mirip dengan permasalahan pertama, tak jarang orang yang baru belajar atau memutuskan menulis mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri secara ‘kejam’: “Siapa sih aku, kok berani-beraninya menulis?” Kalau mau dipanjanglebarkan, maka akan muncul rentetetan gugatan pada niatan menulis, “Apa orang mau baca tulisanku?”, “Apa iya ide saya yang minim pengalaman ini layak ditulis?”, “Apa orang tidak akan menertawakan saya kalau saya menulis soal ini?”, dan masih banyak lagi.
Jadi, ini soal ancaman pengadilan terhadap ‘siapa’ si penulis itu. Percaya atau tidak, sindrom semacam ini—kalau boleh disebut begitu—menghinggapi bukan saja para calon penulis yang baru pada tahap belajar, tapi juga membelenggu kalangan intelektual, akademisi, atau para profesional yang sangat well educated dan well informed. Sindrom ini sangat berbahaya sekali. Mengapa? Kreativitas bisa macet gara-gara kita terlalu berfokus pada soal siapa diri kita dan layak tidaknya kita menulis.
Menurut saya, sindrom ini adalah soal psikologis, sementara gagasan yang hendak ditulis sama sekali tidak bertautan dengan hal tersebut. Orang bisa saja takut ini-itu ketika hendak menulis, tapi ketakutan itu sendiri tidak otomatis mengindikasikan kualitas gagasan yang hendak ditulis.
Ketiga, ancaman ‘pengadilan’ terhadap gagasan sendiri dan masalah ini juga masih bersambungan dengan persoalan-persoalan sebelumnya. Tak jarang karena pertanyaan-pertanyaan kritis soal siapa yang menulis, maka gagasan yang brilian sekalipun sering dipendam atau tidak diperbolehkan mekar.
Bagus tidaknya intisari gagasan seseorang tidak ditentukan oleh siapa pencetusnya ataupun kondisi-kondisi psikologis seseorang. Gagasan tetaplah gagasan, sekalipun ditulis oleh siapa saja dan dalam kondisi tidak percaya diri, ketakutan, dan ragu-ragu sekalipun.
Dari premis ini pula, dalam hal kepenulisan saya termasuk ‘penganut’ nilai gagasan an sich, bukan soal siapa yang menulis. Saya menghargai gagasannya, bukan siapa yang menulis. Gagasan atau tulisan seorang pembantu rumah tangga sama berharganya seperti pendapat seorang guru besar atau pakar. Gagasan tukang sol sepatu sama-sama layak diapresiasi sebagaimana ide-ide para direktur perusahaan maupun pejabat pemerintahan. Jika gagasannya bagus dan ditulis dengan baik pula, itu pantas dipuji dan diapresiasi, siapa pun penulisnya.
Bagaimana dengan gagasan buruk (bad idea)? Saya sendiri selalu bertanya-tanya, apa benar ada yang namanya gagasan buruk? Dalam ranah fungsional, mungkin ada (dalam pengertian gagasan yang tidak aplikatif). Tapi dalam ranah ide, rasanya tidak ada gagasan buruk. Yang ada mungkin hanya gagasan yang tidak disampaikan atau ditulis secara sistematis dan logis sehingga menguatkan ciri ketidakbaikannya itu.
Keempat, tak jarang bayangan atau anggapan-anggapan yang keliru tentang kepenulisan itu datang dari lingkungan di mana kita belajar sebelumnya. Maksudnya, tempat kita menyerap pengetahuan dan belajar menulis (SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, kursus-kursus, tempat kerja, atau mentor) memberikan pedoman kepenulisan yang ternyata tidak efektif bagi diri pribadi kita.
Dalam hal menulis, memang banyak strategi, teknik, atau cara menulis yang diserap dari beragam praktik, yang kemudian dibukukan, diajarkan, atau diaplikasikan dalam kelas.
Menariknya, sekalipun banyak metode tersebut efektif untuk kebanyakan orang, tapi selalu saja ada pribadi-pribadi unik yang butuh lebih dari pedoman yang ada. Saya percaya setiap orang punya cara belajar dan berkarya sendiri-sendiri, sehingga sebuah pedoman untuk berkreasi—secanggih dan seampuh apa pun itu—tidak otomatis cocok untuk semua orang.
Saya misalnya, pernah menghadapi adik sendiri yang sedang belajar menulis artikel. Ia punya kegemaran menulis paragraf panjang-panjang, kadang hampir satu halaman penuh hanya untuk satu paragraf, yang membuat si pembaca merasa kelelahan membaca tulisannya. Ketika saya sampaikan teknik menulis paragraf yang efektif, adik saya ini merasa tidak sepaham karena—menurut apa yang pernah dia terima dari guru bahasa di SMA dan beberapa dosen yang pernah dia tanyai—teknik itu dianggap menyalahi ‘aturan’.
Maka dari itu, sekalipun teknik penulisan yang saya tawarkan saya anggap efektif, tapi karena dianggap adik saya menyalahi aturan, ya akhirnya jadi tidak efektif lagi, alias tidak dipergunakan. Ketakutan melanggar ‘aturan’ inilah yang mungkin membuat banyak orang enggan beranjak ke cara penulisan yang bisa jadi lebih cocok dan efektif bagi proses kreatifnya.
Persoalannya, apa gunanya ‘aturan’ atau pedoman kepenulisan—yang belum tentu benar keseluruhannya dan pas dengan kebutuhan kita—bila justru menghambat proses kreatif? Pada titik ini, tak ada salahnya mulai berpaling ke cara-cara baru yang lebih mendukung proses kreatif dan produktivitas kita. “Lurus tak selalu bagus,” kata saya pada adik saya ini.
Kelima, soal motif menulis. Dalam hal menulis, sebagian orang sejak dini sudah membentengi diri dengan sekian banyak pantangan. Misalnya, pantang menulis karena motif finansial. Pantang menulis untuk kepentingan personal branding. Pantang menulis karena bau pasar atau industri. Dan, masih banyak lagi pantang lainnya. Manakala berhadap-hadapan dengan tuntutan aktivitas menulis yang menuntut kompromi, maka sikap pantang ini bisa jadi penghambat yang serius.
Saya pernah berhadapan dengan seorang profesional yang menurut pandangan saya sudah cukup kaya dengan pengalaman di bidangnya. Jika sudah sampai pada tahap seperti itu, maka menuliskan gagasan-gagasan terbaiknya dalam bentuk buku adalah sebuah pilihan yang menantang. Tapi karena idealisme untuk menulis buku masterpiece—sementara waktu dan kemampuan menulis belum padu padan—si profesional ini memilih untuk tidak menulis dulu. Baginya, pantang menulis (buku) sederhana (yang dalam pikiran saya, itu bisa jadi solusi sementara bagi para profesional nonpenulis). Akhirnya, sejumlah pilihan teknik menulis yang lebih praktis dan mudah pun diabaikan.
Sesungguhnya, menulis adalah alat untuk berkomunikasi atau penyampai pesan. Karena hakikatnya alat maka tulisan itu netral. Tulisan baru punya value tertentu begitu diberi motif oleh si penulisnya. Karena di dunia ini ada beribu kepentingan, maka akan ada beribu motif pula dalam memanfaatkan tulisan. Orang bisa menulis karena motif uang, popularitas, kesuksesan, pengaruh, legitimasi, keilmuan, keagamaan, propaganda politik, dan masih banyak lagi. Motif tersebut bisa berdiri di titik ekstrim idealis sampai di titik ekstrim pragmatis. Semuanya sah-sah saja, sama bermaknanya satu dengan yang lain.
Sebagai editor dan penulis profesional, saya sering mendapati problem motif ini lumayan membelenggu sebagian orang yang hendak menuliskan gagasannya. Betapa motif bisa memacu tapi juga bisa membelenggu. Idealisme sering bertarung dengan pragmatisme. Sebagian orang bisa berkompromi dan melanjutkan aktivitas menulis, sebagian lagi berhenti pada niat dan melupakannya. Menulis akhirnya menjadi sesuatu yang jauh lebih rumit sifatnya.
Jika menghadapi dilema semacam ini, kita tidak perlu takut untuk berkompromi. Idealisme tidak boleh menghambat gerak kreatif kita, sebaliknya pragmatisme juga tidak boleh membuat kreativitas kita jadi liar nirmakna. Gagasan-gagasan terbaik seharusnya tidak menguap hanya karena kita takut dengan motif atau idealisme menulis.
Sejauh ini kita sudah mengurai akar masalah kenapa orang awam maupun orang yang paling berkompeten sekalipun bisa takut menulis. Lalu, adakah cara-cara atau teknik untuk menaklukkan rasa takut menulis itu? Jawabannya, ada dan banyak sekali. Kita akan diskusikan pada tulisan berikutnya. Salam bestseller! [edy zakheus]

Minggu, 04 Mei 2008

Tips Belajar: Memilih Buku "Lokal"

Memilih buku "lokal"yang bermutu---dalam arti karya anak bangsa sendiri, bukan terjemahan--- tidak selalu mudah. Apalagi bagi mereka yang baru mulai "bergaul" dengan buku dan ingin memastikan pilihannya adalah bacaan bermutu. Ada begitu banyak pilihan dan setiap hari pilihan itu bertambah banyak jumlahnya. Berikut beberapa saran yang perlu diperhatikan agar tak salah menjatuhkan pilihan.
Pertama, kenali minat Anda. Fiksi atau nonfiksi? Ilmiah akademis atau ilmiah populer? Filsafat, teologia, agama, ekonomi, politik, sosial, budaya, pemasaran, pengembangan diri, psikologi, sosiologi, manajemen, atau apa? Kedua, perhatikan pengarangnya. Setiap bidang kajian, baik bersifat informatif, edukatif, atau pun rekreatif, memiliki pakarnya masing-masing. Mereka biasanya dikenal karena publikasi yang luas di media cetak maupun elektronik. Nama pengarang tertentu dapat memberikan gambaran minimum tentang mutu karyanya. Ketiga, perhatikan penerbitnya. Hal ini penting terutama bila kita tidak mengenal pengarang terkemuka di bidang yang kita minati. Pilih saja penerbit buku terkemuka yang umumnya selektif menerbitkan karya penulis, mengingat mereka ikut mempertaruhkan nama besarnya dengan menerbitkan jenis buku tertentu. Keempat, perhatikan judulnya. Pengarang yang baik tidak akan memberikan judul sembarangan. Dan judul yang baik seharusnya mewakili pesan-pesan pokok yang ingin disampaikan oleh penulisnya, terutama untuk buku nonfiksi. Kelima, bacalah sinopsis atau komentar tentang buku tersebut. Umumnya sebuah buku yang baik memuat sinopsis atau komentar para pakar dibidang terkait. Sinopsis dan komentar ini umumnya ditampilkan pada cover belakang buku tersebut. Apakah semua itu menggugah minat untuk mengetahuinya lebih jauh? Keenam, pertimbangkan harganya. Sebuah buku dengan berbagai macam format ukuran dijual dengan harga yang bermacam-macam. Umumnya untuk menilai apakah harga jual sebuah buku itu mahal atau tidak, dapat diperhitungkan tebal buku, ukurannya, dan harganya.
Dan sebagai parameter minimum untuk buku-buku "lokal", harga jual yang rasional biasanya sekitar Rp 80,00-Rp 120,00 per halaman. Misalnya, buku dengan format yang bagaimanapun kalau tebalnya 280 halaman (xxxvi hlm + 244 hlm isi), maka harganya sekitar Rp 22.400,00--Rp 33.600,00 per eksemplar. Ini dengan kondisi harga kertas tahun 2000. Kalau ukurannya saku, tentunya bisa lebih murah.
Ketujuh, lihat cetakan ke berapa. Buku tertentu disebut-sebut sebagai buku terlaris (best seller books). Artinya, terlepas dari soal mutu isinya, buku itu banyak dibeli orang. Kebanyakan buku nonfiksi dicetak sekitar 3.000 eksemplar pada awalnya. Dan untuk konteks Indonesia, jika cetakan pertama itu habis sebelum 3 bulan, maka itu termasuk buku laris.
Kedelapan, lihat daftar isinya. Kebanyakan buku yang diterbitkan penerbit terkemuka dibungkus plastik yang membuat kita sulit melihat daftar isinya. Namun toko buku yang baik biasanya menyediakan 1-2 eksemplar yang tak terbungkus, sehingga calon pembeli yang berminat dapat lebih dulu melihat daftar isinya untuk mengetahui apakah hal itu berkesesuaian dengan minatnya.
Kesembilan, sangat baik bila kita berkesempatan membaca lebih dulu resensi buku yang kita minati. Sebagian majalah mingguan dan koran edisi minggu selalu menampilkan rubrik pustaka, timbangan buku, resensi, atau sejenisnya. Hal ini dapat membantu kita menyeleksi bacaan agar mendapatkan yang bermutu.
Kesepuluh, mintalah saran dari para pencinta buku yang kita kenal. Masukan dari mereka umumnya berharga untuk dipertimbangkan.
Memang, semua saran di atas tidak memberikan jaminan 100 persen. Namun tidak berarti tidak berguna sama sekali, bukan? [TT]