“Kemacetan menulis semata-mata adalah soal motivasi, bukan soal teknik penulisan. Jika kita bisa bangkitkan motivasi kembali, maka tidak ada lagi kemacetan menulis.”~ Edy Zaqeus
Ketika saya baru saja mendapatkan ide tema buku yang saya anggap sangat potensial untuk jadi buku best-seller, maka gairah dan semangat saya untuk menulis begitu meluap-luap dan seolah tak terbendung lagi. Ketika mencoba menuliskan gagasan-gagasan itu, ternyata aliran ide seperti membanjir dan menulis seperti tidak mau berhenti. Kalau sudah begini, serasa naskah buku bisa diselesaikan dalam waktu secepat-cepatnya. Terlebih lagi bila teknik menulis cepat bisa dijalankan dengan semaksimal mungkin.
Namun, penulis juga manusia. Yang namanya semangat atau gairah menulis itu bisa naik turun kapan saja dan karena aneka sebab. Mungkin karena kehilangan konsentrasi, interupsi oleh kesibukan lain, muncul rasa malas, menunda-nunda, atau karena tiba-tiba mood lagi turun, maka sebentar saja kemacetan membayangi proses penulisan. Saya sering juga mengalami hal semacam ini. Dan, saya yakin hampir semua penulis, baik pemula maupun yang sudah sangat berpengalaman pun, pasti pernah mengalami kemacetan dalam menulis.
Jadi, manakala sedang macet menulis, kita tidak perlu panik. Ini wajar, lumrah banget! Yang tidak lumrah alias berbahaya adalah bila kita, dari semula yang cuma macet temporal atau sementara, lalu jadi macet permanen. Dengan kata lain, akan berbahaya sekali bila kita jadi hilang motivasi dalam melanjutkan proses penulisan. Dan kemudian, kita mulai beranggapan bahwa diri kita memang tidak mampu menulis buku.
Karena kemacetan menulis adalah gejala yang wajar, maka sesungguhnya yang membedakan kualitas seorang penulis adalah pada penyikapan terhadap masalah ini. Penulis yang belum matang akan mudah dipatahkan semangatnya oleh masalah-masalah yang menghambat proses kreatif mereka. Sementara, penulis berpengalaman dan bermotivasi tinggi selalu mencari cara untuk memecahkan masalah yang dia hadapi.
Menurut pengamatan saya, penulis yang belum matang dan rendah motivasinya akan cenderung mencari berbagai alasan pembenar atas kemacetan yang dia alami. Sedikit demi sedikit, dia akan undur diri dan kemudian “tutup buku”, alias menyerah.
Sementara, penulis berpengalaman bisa saja macet atau mengalami beragam kesulitan. Tetapi, dalam kemacetan dan kesulitan-kesulitannya itu, dia terus memacu diri untuk segera mencari jalan keluar. Kalau pun gagal menyelesaikan suatu tema tulisan, dia tidak menyerah. Tapi, segera saja dia beralih ke proses penulisan lainnya. Dia bisa beralih, mungkin juga berhenti sejenak, tetapi tidak menyerah atau berhenti secara permanen.
Dari berbagai wawancara saya dengan para penulis best-seller (baca di Pembelajar.com), saya dapati bahwa setiap penulis punya cara-cara yang unik untuk mengatasi kemacetan. Saya sendiri juga mengembangkan cara-cara yang khas untuk menyelesaikan problem tersebut. Saya yakin, sebagian besar di antara cara-cara yang akan saya paparkan di bawah ini mungkin sudah pernah Anda coba. Atau, mungkin malah sudah merupakan bagian dari cara Anda mengatasi kemacetan. Baiklah, kita sharing bersama-sama mengatasi momok kemacetan.
1. Berhentilah dan lakukan relaksasi. Ketika mulai penat dan kebingungan meneruskan proses penulisan, saya langsung berhenti sejenak. Saya tinggalkan laptop dan langsung saja mencoba relaksasi. Relaksasi tidak harus seperti orang bermeditasi, tapi bisa saja hanya jalan-jalan mengelilingi ruangan, cari angin di depan rumah, membasuh muka, mendengarkan instrumen musik yang lembut. Pada saat yang sama, saya terus berusaha menenangkan diri atau kalau bisa mengosongkan pikiran. Biasanya, setelah pikiran relatif lebih relaks dan mendapatkan kesegaran, tanpa disengaja pun bisa muncul ide-ide dan semangat baru untuk melanjutkan proses penulisan.
2. Berhenti dan mainkan game apa saja. Ini sebenarnya untuk mengatasi kelelahan dan kebosanan saat menulis. Ada kalanya ketika macet lalu main game di laptop, tiba-tiba justru muncul ide-ide baru yang menarik. Kalau sudah begitu, saya justru ingin cepat-cepat menyelesaikan permainan dan segera menuliskan ide tersebut. Intinya, saya alihkan perhatian atau ambil jarak sejenak dengan proses penulisan. Tapi, hati-hati juga kalau sampai keterusan main game.
3. Bongkar bank ide dan tulislah apa saja. Apabila yang muncul baru sejenis kebosanan atau rasa penat, saya suka berhenti sejenak, lalu melihat-lihat bank tema atau daftar ide judul buku yang saya kumpulkan. Saya sudah berhasil menginventarisir lebih dari 700-an judul atau tema. Kadang dengan melihat-lihat bank ide tersebut, saya jadi berminat menuliskan sesuatu di bawahnya. Pokoknya, menulis apa saja. Tak jarang, dari situ malah muncul ide-ide yang lebih fresh. Dan, sering pula proses tersebut mendorong saya untuk kembali dalam proses penulisan naskah yang sempat terhenti sejenak.
4. Buat kotak sampah tulisan. Adakalanya kemacetan disebabkan oleh suatu kalimat, konsep, kasus, contoh, bab, subbab, atau hanya suatu paragraf yang sulit dikembangkan lagi atau diuntai dengan paragraf-paragraf berikutnya. Ketika akan dibuang, kita merasa sayang, karena mungkin itu merupakan gagasan genuine. Tetapi, bila tidak dibuang, gagasan itu malah jadi biang kemacetan. Menghadapi situasi ini, saya suka menyediakan “kotak sampah ide” untuk mengenyahkan sementara bagian-bagian yang menjadi penyebab kemacetan. Sebelum tulisan selesai, bagian ini tidak perlu di-deleate. Siapa tahu, kita masih bisa mendaur ulang gagasan-gagasan tersebut?
5. Keluar rumah dan bicaralah dengan siapa saja. Ini cara yang paling umum, yaitu keluar rumah dan menjumpai rekan-rekan yang kurang lebih punya minat sama. Kita bisa ketemu mereka di toko buku, mal-mal, kafe, ajang pameran dan diskusi buku, atau cukup ngobrol sejenak dengan tetangga sebelah. Dalam kesempatan ngobrol santai semacam ini, saya suka iseng bertanya kepada mereka soal bagaimana cara mengatasi kebosanan atau kemacetan menulis. Biasanya, mereka jadi antusias bercerita, sementara saya pun ketambahan banyak ide baru. Sama-sama menyenangkan, bukan?
6. Baca lagi artikel-artikel atau buku-buku penulisan yang memotivasi. Untuk artikel-artikel yang memotivasi, kita bisa dapatkan di situs-situs penulisan atau situs penerbit buku. Sementara untuk buku penulisan, favorit saya adalah karya Arswendo Atmowiloto dan Andrias Harefa. Menurut kedua penulis produktif ini, menulis itu gampang sekali. Nah, karena ide-ide mereka yang serba gampang itu, saya pun jadi ikut-ikutan merasa bahwa menulis itu memang gampang. Proses menulis memang harus dibuat gampang, bukan malah dipersulit. Kalau pikiran terus-menerus disugesti bahwa menulis itu gampang, yakin saja, menulis bisa jadi gampang beneran.
7. Baca wawancara-wawancara penulis sukses. Ini salah satu cara favorit saya karena benar-benar bisa memotivasi proses penulisan. Bila saya ingin lebih mengenal gagasan penulis tertentu, saya tinggal mencari wawancara media si penulis melalui mesin pencari Google atau Yahoo. Saya juga suka membaca ulang hasil wawancara saya dengan banyak penulis sukses yang ditayangkan di rubrik wawancara Pembelajar.com. Sambil membaca, saya terus memotivasi diri, bahwa kalau orang lain bisa berhasil, saya pun pasti bisa. Selalu, ada satu atau dua kalimat dari para penulis sukses tersebut yang menginspirasi dan memicu semangat saya untuk melanjutkan proses penulisan.
8. Bertegur sapa dengan penulis-motivator. Selain untuk menghilangkan kejenuhan dan kemacetan, cara ini juga ampuh untuk menaikkan motivasi yang lagi turun. Penulis motivator adalah para penulis yang bisa memberikan inspirasi, dorongan, dan semangat kepada penulis-penulis lain untuk terus berkarya serta lebih produktif lagi. Hanya dengan mengirimkan e-mail atau SMS, serta mendapatkan sepatah dua patah kata yang membesarkan hati, maka semangat bisa timbul lagi. Kalau minta tanda tangan di buku mereka, saya pun biasa minta dituliskan sebuah kalimat penyemangat. Dengan membaca ulang kalimat tersebut, SMS, atau e-mail mereka, semangat menulis naik lagi.
9. Mimpikan sukses dalam dunia penulisan. Ini juga cara favorit saya. Kalau pikiran lagi sulit diajak bekerja dan susah diajak memproduksi gagasan-gagasan bagus, maka ajak saja bermimpi yang enak-enak. Sejak dulu sampai sekarang, saya paling suka bermimpi bisa menulis buku yang terjual ratusan ribu eksemplar, serta menghasilkan royalti sampai miliaran rupiah. Saya juga bayangkan betapa enaknya bisa jadi penulis sukses secara finansial macam JK Rowling, Dab Brown, John Grisham, Robert Kiyosaki, atau Ari Ginanjar, dll. Sambil bermimpi dan membuai diri seperti itu, saya juga selipkan pertanyaan gugatan, “Apa yang sudah kamu lakukan untuk bisa seperti mereka?!”
10. Unjuk sebagian karya ke ranah publik. Cara lain yang tak kalah ampuhnya adalah dengan memublikasikan sebagian tulisan ke berbagai media, seperti buletin internal, forum milis, website, blog, surat kabar, atau majalah. Misalnya, naskah buku kita terdiri dari beberapa bab atau tulisan. Maka, tak ada salahnya memublikasikan sebagian di antaranya ke sejumlah saluran media supaya mendapatkan feedback. Kalau pun tidak ada feedback, kita toh sudah bisa merasakan efek kebanggaan tertentu manakala karya kita bisa dibaca orang lain. Hal-hal kecil ini bisa berdampak positif dan kadang mampu memancing kemungkinan atau peluang-peluang yang tidak pernah diduga sebelumnya.
11. Bergabung dan aktiflah dalam forum atau komunitas penulisan. Banyak forum bisa menjadi sumber inspirasi maupun pemelihara motivasi menulis, seperti pameran buku, acara diskusi atau bedah buku, seminar atau pelatihan menulis. Kadang waktu dan kesibukan begitu membatasi, tetapi minimal bergabung dan pantaulah milis-milis penulisan. Komunitas maya merupakan ajang untuk menjalin network dan berbagi informasi yang nantinya pasti amat kita butuhkan.
Saya teramat yakin bahwa kemacetan menulis semata-mata adalah soal motivasi, bukan soal teknik penulisan. Jika kita bisa membangkitkan motivasi kembali, maka tidak ada lagi kemacetan menulis. Teknik penulisan bisa dipelajari dan didapatkan dengan mudah. Tetapi, menjalankan teknik itu butuh niat, orientasi, dan motivasi. Tanpa motivasi menulis, teknik seampuh apa pun tidak akan jalan. Maka dari itu, begitu kita dapatkan kembali motivasi menulis, segera saja tancap gas dengan menulis cepat dan berusaha menyelesaikan tulisan kita.
Dan, satu lagi yang amat penting. Kita boleh saja mencari sumber-sumber motivasi dari luar diri kita sebagai pelengkap. Tetapi, jangan pernah menggantungkan diri pada sumber motivasi dari luar diri kita. Menggantungkan diri pada pihak atau sesuatu di luar kontrol kita bisa berbahaya sekali. Lebih baik kita terus-menerus mengenali diri kita dan terus belajar mencari cara supaya mampu menumbuhkan motivasi dari dalam. Karena, pusat sumber motivasi harus ada dalam diri kita.[ez]
* Edy Zaqeus adalah penulis buku-buku best-seller, konsultan penulisan & penerbitan, editor Pembelajar.com, dan trainer di Sekolah Penulis Pembelajar (SPP). Ia juga mendirikan Bornrich Publishing dan Fivestar Publishing yang berhasil menerbitkan sejumlah buku best-seller. Kunjungi blog Edy di: http://ezonwriting.wordpress.com atau email: edzaqeus@yahoo.com.